The Graffiti of Judith Diaz











Kutu Kupret!!
Hujan sialan!!

Ari mengutuk dan memaki sepanjang langkah menuju tempat ia memarkir sedan mercy classic favoritnya. Sedannya itu terparkir dipinggir jalan yang sedikit jauh dari tempat ATM dimana ia baru saja mengambil uang dua jutanya untuk keperluan ‘jalan-jalan’nya bersama Julie, wanita yang selama ini belum berhasil untuk dijadikan pacar olehnya. Cintanya begitu menggebu-gebu dengan wanita menggemaskan blasteran polandia itu, sampai ia mau melakukan apapun yang menjadi keinginan Julie. Termasuk malam nanti, ketika Julie menginginkan Ari untuk membawanya makan malam ke sebuah resto mewah di kawasan City Plaza.

“I’d love to have a romantic dinner, Ari. Besok kan long weekend. Kita bisa spend the night lebih lama, rite?”

Jelas saja kalimat itu membuat Ari kalang kabut. Akhirnya saatnya tiba. Julie pasti akan menerima cintanya malam ini! Ari sudah membayangkan betapa cantiknya Julie berbalutkan gaun biru langit yang diberikannya kemarin sore. Warna itu akan menambah keindahan kulit Julie yang sangat mulus dan putih bersih. Ari sendiri tentu saja sudah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Termasuk setelan pakaian kemeja dan celana panjang terbaiknya, serta sepatu kulit asli yang dibelinya saat dikirim dinas kerja empat bulan lalu ke Singapura. Disana juga lah ia bertemu Julie, akuntan cantik berdarah bali-polandia, yang bekerja di Singapura namun hampir tiap weekend menghabiskan waktu di Jakarta.

Namun kini lihatlah dirinya! Gara-gara terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk kencan nanti malam, Ari baru sadar bahwa ia tidak memiliki sedikit cash pun dalam dompetnya untuk printilan-printilan kecil lain, yang pasti akan sangat dibutuhkannya. Bayar bensin, tips, parkir, membeli bunga dipinggir jalan… Wah, membayangkan suasana romantis yang akan dia hadapi nanti, membuat tubuh Ari sedikit gemetar karena bahagia. Lalu ia meralatnya. Ini sih bukan gemetar bahagia, gue kedinginan!, makinya dalam hati. Entah kenapa ia bisa terdampar ditempat seperti ini, berlari-lari untuk mencoba menggapai tempat ia memarkirkan mobilnya sembarangan dipinggir jalan tadi. Gara-gara banyak kambing diikat dipinggiran jalan ini, memaksa Ari untuk parkir sedikit jauh dari tempat gerai ATM yang menyempil di sebelah sebuah mini market. Ia tidak sempat berfikir bahwa dalam hitungan menit saja, langit akan langsung mengguyur bumi dengan kristal-kristal air ditemani sang petir yang dahsyat memekakkan gendang telinga. Seharusnya aku tidak berhenti disini tadi, keluhnya. Daya tarik sebuah mini market kecil dan atm bersama yang tadi didatanginya hanyalah karena ia merasa mulutnya sudah masam dan ingin segera membeli rokok menthol yang selama ini telah mengisi paru-parunya.

Langkah Ari terpaksa berhenti di sebuah tenda panjang di pinggir jalan yang begitu tidak kokoh dan terlihat darurat dibuat untuk memberi perlindungan sementara pada kambing-kambing yang tampak mulai resah akan guyuran hujan. Kambing-kambing itu mulai mengembik-ngembik dengan keras. Dan kini Ari pun harus bergabung bersama kambing-kambing resah itu agar dirinya bisa berteduh dan tidak terlalu kebasahan. Dengan muka memerah, takut dilihat orang-orang, ia pun menunduk dan membersihkan wajah dan rambutnya dari percikan air hujan tadi. Hair gel yang digunakan pada rambutnya pun mulai tidak berfungsi karena rambutnya sudah mulai tidak tegak dan berantakan. Secara perlahan ia mengangkat wajahnya untuk melihat kesekelilingnya dan mendapati tidak ada seorang pun yang memperhatikan dirinya. Hanya ada beberapa mobil yang lewat, motor-motor dengan pengemudi yang kedinginan dalam ponco-ponco terterpa angin, dan tidak ada pejalan kaki lainnya yang mau bernasib sama dengan dirinya. Hanya ada satu orang pemuda yang sedang jongkok diujung lain tenda, mengelus-ngelus salah satu kambing, dan menatap jauh kearah lain. Pastinya pemuda itu si pengurus ataupun si penjual kambing-kambing ini. Dengan elusan tangannya, ia berhasil membuat satu kambing itu tidak mengembik-ngembik seperti kambing lainnya.

Hujan semakin tidak berkompromi. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, dan Ari harus menjemput Julie satu jam dari sekarang. Dengan gugup ia mencoba menghitung jarak yang harus ditempuhnya menuju mobil yang diparkirnya tadi. Hatinya langsung lemas begitu ia bisa memastikan bahwa jaraknya masih cukup jauh dan tidak mungkin bisa diraihnya tanpa membuatnya seperti kambing kejebur got! Sekarang saja seperempat celananya sudah terkena rembesan air becek dan baju lengan kanan kirinya sudah terasa lembab.

Ari mengeluarkan handphonenya dan men-dial nomer Januar, sahabat gokilnya selama ini di kantor. Hanya dalam beberapa kali deringan saja suara diseberang sudah menyambar seperti biasa dengan aksen kentalnya,“Yeah, what’s up, Bro?”

“Gue keujanan, Man! di negara antah berantah ga jelas gini!” balas Ari setengah berteriak, mencoba mengalahkan suara air hujan.

“Lah, bukannya lo mau cem-ceman ama si Julie bule itu? Terdampar dimana lo sekarang?”

“Di griya, abis ngambil duit bentar. Eh, busyet hujannya kayak air bah! Belum sempet sampe mobil, gue udah keujanan. Terpaksa neduh nih sama kambing-kambing di pinggir jalan!”

Tawa suara diseberang terdengar begitu membahana. Januar ngakak sampai tidak berkata-kata lagi.

“Mungkin karena lo bakalan senasib sama kambing-kambing itu besok kali! Makanya lo disuruh bersilahturahmi dulu disono!”

“Kupluk lo!”

“Trus basah dong?”

“Iye.. Lo kesini donk! Bawain sweater ijo gue yang ketinggalan kemaren. Rumah lo kan deket dari sini.”

“Deket dari mane?! Gue di Bandung sekarang. Inget, besok kan lebaran haji, jadi gue pulang kampung donk sama anak bini gue. Memangnya elo, kagak pernah lebaran, kagak pernah mudik? Makanya cepet kawin, Ri. Biar ada yang ngurusin sama ngingetin elo akan hari lebaran. Jangan kambing dong yang ngingetin elo kalo besok itu lebaran haji. Huahahahahha…” lagi-lagi Januar tertawa ngakak.

“Brengsek…bukannya bantuin temen susah lo!”

“Umur lo kan udah 37, bro… Mo kapan lagi? Jangan nyari yang aneh-aneh lah. Gue jamin sama Julie juga lo bakal putus kayak cewek-cewek lainnya….Carilah wanita yang…”

“Heuudeuh malah nasihatin gue. Udah dulu deh, makin puyeng dengernya!”

Januar tertawa lalu mereka pun saling menutup telepon masing-masing.

Masih sedikit kesal, Ari mencoba lagi memperkirakan jarak tempuh yang akan dilaluinya bila ia nekat lari ke arah mobilnya. Sebelum ia memutuskan, tiba-tiba telepon yang digenggamnya melantunkan lagu “Move Like Jagger”-nya Maroon 5. Telepon yang masuk tertulis nama ‘Julie babe’.

Hatinya pun berdebar-debar tidak keruan saat ia menerima panggilan Julie.

“Hi, Babe…”

“Hi, Honey. Where are you?” suara Julie terdengar sangat manja dan sedikit serak. Terdengar begitu seksi ditelinga Ari. Ia langsung lupa akan keadaan dirinya sekarang.

“Dijalan nih. On the way to your house…”

“Upps… itu dia,” suara Julie terpotong sesaat,” kayaknya ga jadi deh, Ri. Sorry ya.. I really have to go now. Very urgent. My parents are here! Gawaat kan kalau aku malah pergi….”

“Loh, bagus donk… Aku jadi bisa ketemu orang tuamu sekalian kan? Kita ajak makan malam bersama saja.” tanya Ari begitu antusias. Ia benar-benar ingin sekali menaklukan hati Julie dan orang tuanya sekaligus malam ini.

“Hahahahahha, you’re so funny, Babe! Of course, you can not meet them. Mereka kan datang sama calon yang dipilihkan buat aku. Well, I think this is the time for me to get settle. Terlalu lama aku bermain-main dengan pria kali yaaa.”

Ari langsung lemas mendengar kata-kata Julie barusan. Ia bahkan langsung menjauhkan hp nya dari telinganya begitu saja. Ia masih sempat mendengar suara Julie memanggil-manggilnya sebelum hp nya langsung dimatikan. Usai sudah. Seketika itu juga hatinya terasa remuk. Pikirannya melayang kemana-mana. Ada rasa sakit yang dalam dada dan mendadak menyesakkan nafasnya. Bagaimana mungkin ia bisa berharap pada gadis seperti Julie? Kemana instingnya selama ini untuk menilai seorang wanita yang bisa dijadikan pendamping dirinya?

Kemana instingnya?! Ari balik bertanya pada dirinya. Memang kamu gak pernah punya insting wanita mana yang pantas buat kamu, Idiot! Ini sudah wanita ke sekian kalinya yang gagal membina hubungan sampai ke tahap serius yang ia inginkan. Januar benar, umurnya sudah 37, dan ia sangat kesepian. Bahkan frustasi! Berapa banyak energi, waktu dan uang yang ia habiskan untuk menggaet wanita? Membawa mereka berlibur ke luar negeri dan membeli perhiasan-perhiasan mahal adalah dua dari agendanya setiap memiliki pacar atau teman kencan. Tidak ada yang salah dengan semua itu karena toh ia mampu untuk membuat banyak wanita terpesona akan kesuksesan dirinya itu.

Kini Ari hanya berdiri tanpa daya dibawah tenda masih terguyur hujan deras. Beberapa tetes air sudah mulai jatuh diatas kepalanya menandakan tenda plastik biru itu sudah mulai berat menopang air hujan yang jatuh. Namun saat ini Ari tidak peduli. Ia seperti manusia tanpa nyawa yang hanya bisa diam beberapa saat lamanya.

Tiba-tiba entah darimana, seorang bapak menerobos dalam hujan didepannya dengan menggapit seorang anak laki-laki sekitar 5 atau 6 tahunan. Ari sampai mundur saat mereka masuk dan berdiri agak jauh disebelahnya, ikut mencari perlindungan dan berteduh. Hilang sudah lamunannya akan Julie barusan. Dilihatnya bapak dan anak itu saling memeluk erat, gemetar karena seluruh tubuh mereka yang basah. Keduanya terlihat begitu sederhana, dengan pakaian lusuh dan sendal jempit yang sudah terlihat sangat kusam. Bapak itu tersenyum pada Ari dan hanya dibalas dengan senyum seadanya. Lalu ia mulai menepuk-nepuk pipi sang anak, untuk memberi sedikit kehangatan.

“Padahal rumah sudah dekat pak, kenapa kita harus berteduh?” celoteh sang anak.

“Jalanan licin dan banyak lobang, nak. Bapak gak mau kamu jatuh dan tergelincir karena berlari-lari. Sudah berteduh saja disini dulu.”

“Kambingnya banyak ya pak!” si anak melanjutkan percakapan. Ia pun jongkok sambil mengelus-ngelus kambing disebelahnya yang berbulu lebat. Lalu ia tertawa kegelian. Si bapak ikut tertawa.

“Ini buat di qurbankan ya pak?” tanya si anak lagi. Si bapak pun mengangguk sambil ikut jongkok disebelah anaknya. Anak itu berkernyit sedih melihat anggukan bapaknya. “Kasihan…”

“Berqurban adalah salah satu bentuk ketaqwaan, nak,” ujar sang bapak, dengan nada yang sangat menenangkan.

“Cerita lagi dong pak, tentang sejarah qurban Nabi Ibrahim itu!” sang anak semakin antusias. “Kambing-kambing ini pasti ikut tenang mendengar ceritanya karena mereka bisa menjadi hewan qurban.”

Si bapak tertawa. Tanpa sadar Ari jadi terus mengikuti pembicaraan keduanya dengan penasaran. Pembicaraan itu membuatnya sedikit melupakan Julie dan meredakan kemarahannya. Ia ingat-ingat lupa akan sejarah Nabi Ibrahim itu.

“Masa bapak ulang lagi nak, kan kamu sudah dengar berkali-kali.”

“Tapi seru kalau bapak yang cerita! Bapak bilang kalau dalam Al-Qur’an disebutkan Allah memberi perintah kepada Nabi Ibrahim untuk mempersembahkan Ismail, anaknya kan Pak. Trus, trus, nabi Ibrahim dan Ismail mematuhi perintah tersebut dan tepat saat Ismail akan disembelih, Allah menggantinya dengan domba pak. Sebenarnya itu adalah ujian dari Allah untuk keduanya ya pak…”

“Tuh sudah pinter…” si bapak mengucek-ngucek rambut anak tadi. Anak itu tersenyum sumringah. Mimiknya begitu bahagia, tak terlihat bahwa ia ditengah-tengah situasi yang buat sebagian orang sangat menyusahkan.

“Lalu… kenapa bapak ga mengorbankan aku pak?”

Ari langsung tersedak. Ia batuk-batuk kecil dan mengaburkan rasa terkejutnya dengan mengibas-ngibaskan lengan bajunya. Masih penasaran, ia kembali berusaha mendengar jawaban si bapak tadi, berpura -pura pasang gaya acuh tak acuh.

“Bapak tidak dapat mimpi yang sama seperti Nabi Ibrahim, nak. Bapak hanya orang biasa saja. Kalaupun bapak dapat mimpi yang sama, bapak ga akan sanggup mengorbankan kamu.”

“Harusnya diganti kambing kambing ini saja ya pak?”

“Iya nak.”

“Terus bapak juga ga berkurban kambing tuh. Bapak berarti ga bertaqwa pada Allah dong!”

Ari terkesiap akan pertanyaan-pertanyaan tajam sang anak.

Si bapak langsung memeluk sang anak dengan pandangan paling menyedihkan yang pernah Ari lihat selama hidupnya. Hatinya bergetar melihat adegan itu.

“Karena bapak belum mampu membeli satu kambing pun, nak… Doakan bapakmu ini mendapatkan rezeki yang cukup dari jualan nanti ya, nak…”

Tuhan…

Ari melenguh. Hatinya bergejolak.
Tiba-tiba saja ia berjalan menerobos hujan, melewati bapak dan anak tadi, terus mendekati sang pemuda penjaga kambing yang berdiri disisi lain tenda. Tak perduli akan hujan yang langsung mengguyur tubuhnya, ia pun berbicara kepada si pemuda itu.

“Berapa harga kambing-kambing disini?”

Si pemuda bengong sesaat, lalu dia berjalan mendekati Ari.

“Sudah terjual semua, pak. Hanya ada satu yang belum, tapi itu kambing super pak. Mahal harganya. Dua juta!” seru si penjual kambing sedikit berteriak.

“Aku beli. Tolong berikan pada bapak dan anak itu untuk mereka berqurban.”

Si penjual tambah bengong begitu Ari memberikan uang persis dua juta dari kantongnya. Lalu ia berteriak kesenangan memanggil bapak dan anak yang berdiri diujung lain tenda itu.

“Sini! Kalian dapat kambing buat qurban besok!” teriaknya.

Sekilas Ari melihat bapak dan anak itu terdiam sejenak, lalu mendekati mereka pelan-pelan.

Ari tersenyum, lalu berjalan menerobos hujan dengan langkah santai menuju mobil sedannya diparkir di ujung jalan. Tak perduli lagi ia akan hujan yang mendera tubuhnya yang memang sudah terlanjur basah. Sayup-sayup ia mendengar si bapak tadi berteriak mengucapkan terima kasih, dan si anak teriak-teriak kegirangan ,“kita pulang bawa kambing! kita pulang bawa kambing!”.

Sesampainya di mobil, Ari langsung membuka pintu dan membanting tubuhnya ke jok mobil. Wajahnya ditelungkupkan pada setir. Air matanya pun menetes. Dalam hidupnya yang sudah tiga puluh tujuh tahun ini, tak sebersit pun ia pernah mengeluarkan uangnya untuk hal-hal seperti ini. Baginya ini adalah kali pertama membeli hewan qurban, dan ia tidak tahu caranya berqurban. Hatinya hanya mengatakan bahwa ia harus memberikannya pada si bapak anak tadi. Ari sadar bahwa ia selalu hidup dalam kemewahan duniawi, dan menghabiskan semuanya untuk kesenangan duniawi. Ia sibuk mengejar-ngejar wanita wanita itu. Dan sungguh, mulai detik ini, ia tidak mau lagi.

*

Malam ini, ditengah sayup-sayup gema takbir dari luar apartemennya, Ari tertidur pulas. Ia bermimpi tiba-tiba sedang berdiri di depan Ka’bah, bersama-sama ribuan orang yang sedang menunaikan haji. Dengan heran, ia berjalan mundur dan melihat sekelilingnya. Ribuan orang itu pun mulai mendesak Ari untuk bergerak. Namun Ari hanya bisa berdiri mematung. Tatapannya berhenti pada seorang wanita berpakaian putih, berkerudung putih, yang berdiri sedikit jauh dari tempatnya. Wanita itu sangat cantik dan begitu jelas sedang melihat kearahnya. Hati Ari bergetar. Ia terpesona. Namun tiba-tiba bayangan itu semakin memudar dan menghilang. Ari pun tersenyum dalam tidurnya. Calon istriku akan segera tiba.



et cetera