“Kamu harus bantu aku, Piet. Please…please…”erang Kei putus asa melihat deadline laporan seminar minggu kemarin yang tertera di note booknya. Besok. Pipiet cuek saja mendengarnya. Ia membereskan lembaran-lembaran kertas laporannya kedalam tas diatas motor hitam yang diparkir ditempat yang cukup teduh di pelataran parkir kampus Setia Budi.
“Kenapa bisa ga selesai sih?” wajah Pipiet cemberut. Walau dicemberutin, Kei tahu kalau mimik Pipiet itu tidak berarti marah. Dia tau Pipiet sayang padanya dan begitu peduli pada keberhasilan mereka berdua untuk menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Pipiet memberikan helm berwarna pink cerah yang langsung diterima Kei dengan tangan kanannya.
“Jadwal manggungku makin padat bareng Vicky, piet. Trus malam ini aku ada jadwal siaran.”
“Night show lagi?!” Pipiet kaget. “Kamu tuh bener-bener ga bisa bagi waktu ya. Inget, jadwal wisuda yang kita targetkan itu ada di bulan November. Dan sekarang sudah June loh. kalau kamu sibuk terus, aku akan ninggalin kamu di kampus ini. Sendirian ama Prof. Anung!” ancam Pipiet galak.
Wajah Kei langsung berubah pias. Professor Anung memang ada dalam list pertama dosen killer yang membuat Kei angkat tangan. Hanya pipiet yang mampu menaklukan keberingasan beliau di setiap seminar yang dihadapi mereka berdua. “Maaf, Piet. Bukan karena apa-apa kok. Aku benar-benar lagi butuh uang yang banyak. Selain buat biaya skripsi, Tania kan mulai masuk kuliah Tahun depan. Aku harus mempersiapkan dananya juga. Kasihan adikku kalau ga kuliah. Makanya, aku kejar jadwal manggung yang banyak dan nambah-nambah jadwal siaran…”
“Ah, kalau siaran sih kamu memang hobby!” pangkas pipiet. “Kamu sih selalu menawarkan diri jadi pengganti kalau ada teman-teman kamu yang ga bisa siaran kan? Memang kamu malas aja setiap ngerjain skripsi.” Pipiet menjitak kepala Kei. Walaubagaimanapun dia tau kenapa Kei harus pontang panting cari uang demi kuliahnya dan adiknya. Kei hanya hidup bersama ibu dan adiknya, Tania, yang sekarang duduk di bangku terakhir SMA. Ibu Kei sudah lama bercerai dari ayahnya, jauh sebelum Kei mengenal arti kata kerasnya bertahan hidup. Bahkan Tania pun baru berumur 2 tahun saat ditinggalkan. Demi menghidupi mereka bertiga, Ibu Kei bekerja sebagai seorang pegawai administrasi di sebuah klinik kesehatan yang sederhana di daerah Bandung Selatan. Sampai saat ini. Bagi Pipiet, melihat potret seorang Kei menimbulkan kekaguman dan inspirasi tersendiri bagi dirinya. Walau ia selalu kesal karena selalu diminta bantuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah Kei, ia sangat sayang pada sosok sahabatnya itu yang menurutnya sangat berbakat. Suara Kei bukan hanya bagus untuk menyanyi, bahkan dengan hanya mendengarkan ia berbicara sekalipun, dia sangat menghipnotis pendengarnya di radio. Siaran night show yang dimulai pukul 10 – 12 malam dan bertema “the cozy night” yang dibawakannya di radio TRX FM memiliki pendengar setia yang cukup banyak.
“Karena sudah dijitak, artinya ok kan?,” rayu Kei sambil mengedipkan mata genitnya pada Pipiet. Pipiet tertawa.
“Ya mau gimana lagi. Oke, aku kerjain malam ini sambil dengerin kamu siaran. Tapi aku ga bertanggung jawab dengan hasilnya ya. Dan kamu harus bisa mempresentasikan itu sendiri loh!” kata Pipiet sambil menaruh tas ranselnya dibagian depan motor bebek kesayangannya dan menyalakan mesinnya.
“Deal!” teriak Kei bersemangat sambil memakai helm berwarna pink cerah favoritnya tadi. Dia langsung duduk dibelakang dan memeluk Pipiet dengan senang. “Makasi yaaaaa. Senang deh punya sobat kayak kamu.”
“Apa-apaan sih! Ga bisa nyetir nih…Hahahaha” tapi Pipiet ikut merasa kegelian atas ulah Kei. Motor mereka pun melaju keluar meninggalkan pelataran parkiran kampus.
* * *
“Masih bersama saya Kei Andara dalam lima menit terakhir sebelum The Cozy Night akan usai, Listeners…Setelah ini rekan saya, Rully Angkasa akan lanjut menemani malam anda dengan lagu-lagu slow melankolisnya ya. Well, membicarakan cinta memang tidak pernah ada habisnya. Dari berbagai kisah cinta yang pernah listerners sharing disini, memang kisah malam ini sungguh memberikan banyak aspirasi kenapa cinta harus kita perjuangkan. Terima kasih sekali lagi untuk Dewa yang sudah mau berbagi kisah malam ini, anda memang layak mendapatkan Olivia pada akhirnya. Semoga kisah cinta kalian berdua langgeng, dan tetaplah menabur bumbu-bumbu kasih sayang diantara kalian ya…” Kei melihat lampu penerima telepon berkedip-kedip. Ia langsung melihat Rully yang sedang duduk dibalik kaca bening dihadapannya, dan memberikan kode minta waktu sedikit lagi sebelum siarannya berakhir. Rully, rekan penyiar yang akan melanjutkan siarannya setelah Kei, menganggukkan kepalanya.
“Masih ada penelepon yang masuk nih. Walau waktunya sudah habis untuk sharing, saya mau menyapa anda dulu ya, Listeners dan boleh merequest lagu yang ingin anda dengarkan malam ini ya. Halo, selamat malam…”
“Malam, Kei…” suara pria melalui telepon terdengar ramah dan hangat.
“Malam juga. Terima kasih sudah menghubungi saya di ‘The Cozy Night’ ya. Tapi untuk sharing kisah cintanya bisa kita lanjutkan besok malam, tidak apa-apa kan?”
“Oh, ga apa-apa kok, Kei. Hanya mau request lagu kok. Boleh ya? Saya lagi ingin mendengarkan If you are not the one, dari Daniel Beddingfield.”
“Boleh saja. If you are not the one Daniel Beddingfield, Listeners… akan menemani anda sekaligus mengakhiri ‘The Cozy Night’ malam ini. Mau diberikan kepada siapa nih,…” Kei lupa apa pria tadi sudah menyebutkan nama sebelumnya.
“Ga ada, buat Kei saja. Dari… Alex.” jawab pria di telepon seperti mengerti bahwa Kei membutuhkan namanya.
Nafas Kei tercekat. Alex?
“H..Hai, Alex…” sapa Kei berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ya, Kei ingat. Ini adalah suara Alex yang sempat dikenalnya dibulan Februari yang lalu.
“Hai, Kei. Lama tidak bertemu ya. Minta diputarkan lagu tadi ya.”
“Oh, of course.” Jari Kei langsung sigap mengetik sesuatu di keyboard PC dan mempersiapkan lagu Daniel Beddingfiled yang diminta sebagai lagu pembuka acara Rully Angkasa setelah siarannya usai.
“Thanks ya, Kei, And enjoy the rest of your night..” Telepon langsung ditutup.
“You too, Alex. So, finally, this is the song ‘If you are not the one’ dedicated for you, Alex. Once again, thank you so much for sharing your love story with me Listeners, dan saya Kei Andara mohon pamit dari ‘The Cozy night’. I’ll give the rest of the night to u now, Rully..”
“Thanks, Kei… Radio TRX 100.25 FM Listeners! This is Rully Angkasa… And I…”
Kei melepaskan headsetnya dengan cepat. Ia melambai pada Rully dan memberi isyarat bahwa ia akan segera pulang. Masih menyapa listeners, Rully menganggukkan kepalanya dan balas melambaikan tangannya pada Kei.
Suasana kantor Radio TRX di jam 12 malam sudah sangat sepi. Hanya ada Michael a.k.a Bang Usep, sang operator merangkap satpam radio ini yang menjaga di pintu depan. Kei berlari cepat mengitari ruang santai tempat dimana para staff radio biasa bermain bilyard, dan melewati Michael yang setengah tertidur dibangkunya.
“Pulang ya, bang…” teriak Kei.
Michael terhentak dan mengusap matanya. “Eh, iya neng Kei. Hati-hati…”
Sesaat Kei mendengar lagu If you are not the One-nya Beddingfield mulai mengalun, dan itu menghentikan Kei untuk berhenti berlari. Kei terdiam sesaat dan pikirannya langsung melambung ke malam Valentine hampir 5 bulan yang lalu itu. Kei masih mengingat Alex, entah atas dasar apa, secara detail. Alex yang tinggi, putih, ramah… yang memiliki sorot mata paling menghangatkan di dunia. Atau mungkin hanya Kei saja yang merasa terbius akan mata coklat itu. Tidak semua orang di dunia. Well, Kei hanya menarik nafas panjang memikirkan kenapa pria itu bisa mendengarkan malam ini dia siaran, setelah sekian lama menghilang. Mungkin Alex habis bertengkar dengan cewek super glamournya itu. Atau sudah putus?, Kei tersenyum sendiri akan kata-katanya yang lebih berupa harapan itu. Toh lagu yang di request juga kata-katanya sangat menyayat hati, mengenai pria yang sedang bimbang karena mencintai seorang wanita.
“Senang ya di telepon Alex?”
Kei menoleh kearah sumber suara. Vicky sudah berdiri diluar gerbang dengan mobil pick-up putihnya. Gaya santainya masih seperti biasa. Tapi Kei bisa merasakan aura yang dikeluarkan dari Vicky tidak seramah biasanya. Ia tampak … marah.
“Ah, biasa saja. Dia hanya request lagu aja kok,” ujar Kei santai sambil berjalan mendekati Vicky dan memberikan senyum terbaiknya. Di dekati wajah Vicky dan dicubitnya hidung Vicky dengan manja. Vicky tidak bergeming.
“Sejak kapan dia mendengarkan siaran kamu?!” suara Vicky mulai terdengar kasar.
Kei kaget mendengarnya. Vicky tidak pernah membentaknya sekalipun selama ini. “Entahlah… Aku ga pernah tau siapa aja yang mendengarkan siaranku, dan ga bisa menolak siapapun yang mendengarkan kan…? Alex sama saja dengan pendengarku yang lainnya…”
“Oh ya?!” Vicky memegang tangan kanan Kei dengan sangat keras dan menariknya kedadanya. Tubuh Kei sampai tertarik kedepan. “Lalu kenapa kamu tampak tersenyum senang begitu keluar dari sini kalau bukan karena telepon terakhir dari Alex tadi?!” Kei mengerang kesakitan. Dia menoleh keberbagai arah mencari-cari apakah ada orang lain disekitar mereka. Bahkan ia menoleh kembali ke belakang berharap Michael melihat dirinya. Namun kekecewaan langsung terlihat dimatanya begitu secara sekilas ia melihat Michael tengah menelungkupkan kepalanya diatas meja resepsionis.
“Kamu kenapa Vicky? Aku gak ngerti kenapa kamu begini…” Kei berusaha membebaskan tangannya dari cengkeraman Vicky namun gagal. Ia lagi-lagi melihat ke berbagai arah berharap ada seseorang yang lewat.
“Hei, kamu cari-cari Alex? Kamu pikir dia sedang ada disini?”
“Apa maksud kamu? Aku…”
“Oh, atau…malah kamu sudah janjian mau dijemput olehnya malam ini?” Vicky ikut melihat keberbagai arah seperti orang kesetanan.”Kamu sudah sering bertemu dia diam-diam di belakang aku ya!”
“Kamu kenapa? Aku sama sekali tidak pernah bertemu Alex sejak tampil di restonya itu, dan ini benar-benar pertama kalinya dia menelepon… Aaaah, sakit Vicky…” Kei merintih begitu tangannya kembali ditarik dengan kasar oleh Vicky. Seperti diseret, Vicky menarik Kei dan memaksanya masuk ke mobil. Begitu Kei masuk mobil, ia pun membanting pintu dengan keras. Dengan langkah penuh kemarahan, Vicky berjalan cepat kearah pintu satunya, dan langsung naik ke mobil. Wajahnya tampak sangat kaku, dan ia menyalakan mesin mobil dengan tergesa-gesa dan langsung tancap gas.
Kei tidak berani memandang Vicky sama sekali. Dia hanya menundukkan kepalanya, mengusap-usap pergelangan tangan kanannya yang sakit, dan menahan dirinya untuk tidak menangis. Ia tidak pernah mengenal Vicky dengan sikapnya malam ini. Dan sungguh ia tidak mengerti kenapa Vicky bisa semarah itu hanya karena seorang Alex yang tidak pernah memiliki hubungan apapun dengannya itu menelepon di acara siarannya?
Vicky menoleh ke arah Kei yang sedang memegang pergelangan tangannya. Ia bisa melihat pergelangan tangan Kei memerah akibat cengkeraman kasarnya tadi. Dan ia juga bisa melihat mata Kei sedikit membasah. Sesekali ia mendengar Kei mencoba menahan isakan tangisnya. Tiba-tiba rasa kalut yang menghampiri sebelumnya berubah menjadi rasa penyesalan. Vicky menarik nafas panjang dan segera menghentikan truk pick-upnya ke kiri dan berhenti di depan ruko yang sudah tutup.
“Sayang… Kei sayang,” dia menarik bahu Kei kedadanya dan memeluk Kei. Tubuh Kei sedikit berontak, namun tangan Vicky lebih kuat mendorong. “Maafin aku, Kei… Aku cemburu. Aku sangat cemburu. Kamu milikku, dan aku takut kamu pergi dariku.”
Kei terdiam kaku di sandaran dada Vicky.
“Kei, maafin aku..”
Kei tidak menjawab. Ia hanya terdiam dan tetap merebahkan kepalanya ke dada Vicky.
“Kei, kamu dengar aku?”
Masih tidak bergeming. Kei begitu bingung dengan apa yang terjadi barusan. Tiba-tiba saja kedua tangan Vicky mengangkat wajahnya dan memaksa Kei untuk bertatapan dengannya.
“Aku begini karena aku terlalu mencintaimu,Kei! Kamu mengerti kan?” tatapan Vicky yang sangat tajam pada dirinya memaksa Kei untuk menganggukan kepalanya perlahan.
Vicky langsung tersenyum melihat anggukan kepala Kei. Dan ia kembali memeluk Kei dengan erat. “Oh, God… Kei, Aku terlalu mencintaimu. Terlalu mencintaimu…”
* * *
“Aku gak nyangka…” lirih suara Pipiet keluar dari mulutnya. Bahkan ia meletakkan sendok nasinya di piring dan tidak bernafsu menyelesaikan makan siangnya. Kantin kampus ramai oleh mahasiswa yang sedang makan, mengerjakan paperwork, pacaran, bahkan untuk sahabat yang saling curhat seperti yang Kei lakukan dengannya sekarang dengan menceritakan kejadian malam tadi seusai siaran.
“Dia sangat berbeda. Begitu berubah! Tapi dia bilang itu karena cemburu.”
“Cemburu dengan orang yang baru sekali bertemu denganmu? Itu aneh sekali! Untung dia tidak menyakitimu lebih parah lagi!” Pipit langsung naik pitam.
“I am fine, Piet. Dia ga menyakiti aku kok. Tadi malam dia hanya sedikit sensitif. Mungkin aku terlalu sibuk dan tidak banyak menghabiskan waktu dengannya. Apalagi dengan kesibukan aku menyelesaikan skripsi sekarang.”
“Tidak banyak menghabiskan waktu apaan?? Malam ini bahkan kamu mau manggung dengan dia kan? Aku takut ada kejadian aneh lagi, Kei. Aku khawatiiiir…” Pipiet serius memperlihatkan mimik khawatirnya pada Kei.
Kei tersenyum. “Ga akan ada apa-apa. Malam ini Vicky akan menjadi pria paling manis yang pernah aku kenal okay? Aku tahu itu, karena dia selalu bahagia dan memanjakan aku setiap kali kami manggung bersama. So, no worries ok?”
“Well… apa kata kamu, deh Kei. Yang kulihat sih kombinasi musik dengan kamu memang satu-satunya hal yang buat dia tenang. Ga ada hal lain. Coba lihat aja sekarang, dia tidak menghubungi kamu dan perduli dengan bertanya hasil dari presentasi pentingmu tadi kan?” lanjut Pipiet masih kurang puas akan rayuan Kei untuk tidak membuatnya khawatir.
Kei tidak menjawab, ia menunjukkan jari telunjuknya pada seorang pria berkemeja kotak-kotak biru yang mendatangi mereka berdua. Pria itu tersenyum pada mereka dari kejauhan. Pipiet langsung memandang kei dengan khawatir.
“Maaf ya Kei, aku ga bisa pulang bareng ama kamu. Dani mau ajak aku nomat nih.”
“Enjoy…” Kei tersenyum pada Dani, kekasih Pipiet yang paling setia. Sudah dari semester 1 mereka berpacaran dan Kei tidak pernah mendengar masalah-masalah rumit yang terjadi diantara mereka berdua. Benar-benar bikin iri.
“Bye, Kei.” Dani langsung menggaet tangan Pipiet untuk segera meninggalkan kantin. “Kita masih harus kejar waktu nih.”
Pipiet melambai pada Kei dengan sorot mata yang tetap khawatir.
Namun kekhawatiran Pipiet tidak beralasan. Malam itu Vicky dan Kei tampil cemerlang di sebuah Jazz Cafe satu-satunya di kota Bandung. Mereka selalu tampil dua kali seminggu di tempat ini dan menuai decak kagum pengunjung yang terhibur. Kali ini justru mereka tampil lebih mesra dan mendapatkan pujian dari banyak orang. Beberapa lagu cinta bahkan Kei persembahkan buat Vicky dan disambut dengan godaan-godaan dari para pengunjung. Sepanjang malam Vicky menatap Kei dengan sayang dan selalu berbisik lirih ,”Aku terlalu mencintaimu, Kei…”
* * *
Kei berjalan menuruni tangga dengan sangat perlahan. Seprti malam-malam biasanya, suasana radio TRX sudah sangat sepi usai dia siaran “the cozy night”. Ia berusaha mengingat nomer taxi resmi, namun gagal. Lalu ia mencoba mencari nomer tersebut di Hp-nya, walaupun ia sama sekali tidak ingat pernah menyimpannya. Kei jarang menggunakan Taxi, karena ia juga baru setengah tahun ini mengambil siaran malam. Selain itu, ia selalu dijemput Vicky beberapa bulan terakhir ini. Namun malam ini, tiba-tiba saja Vicky sms Kei di jam ia siaran dan mengatakan mendadak harus jadi additional player buat salah satu band cafe yang tampil malam ini di E-cafe. Vicky tidak akan menjemputnya malam ini.
“Awas, ntar kamu jatuh, Kei!” sebuah suara berat pria mengagetkannya.”Baca sms-nya nanti aja kalau sudah turun tangga kenapa..”
Kei tersipu malu. “Kamu masih disini, Yong? Kupikir kamu sudah pulang pas aku masuk studio tadi.”
Yongki, salah satu penyiar TRX yang paling digandrungi wanita karena suara beratnya yang sexi itu hanya menggelengkan kepala. Matanya terus fokus pada ujung tongkat bilyardnya yang mengarah ke ujung meja tersebut. Satu gerakan kilat menghentak, namun gagal. Tidak ada yang masuk.
“Damn it!”makinya. Lalu ia berpaling pada Kei dan meletakkan tongkat bilyard di kayu penyangganya. “Kayaknya gue belum lihat Vicky tuh.”
“Dia ga bisa jemput malam ini. Aku mau menelepon taxi barusan, tapi lupa nomernya. Kamu punya?” tanya Kei.
“Ngapain pake taxi. Gw anter aja. Gw juga mau pulang aja deh sekarang,” kata Yongki tampak tidak yakin dengan keputusannya untuk pulang.
“Something wrong?” tanya Kei merasa aneh atas kalimat terakhir Yongki barusan. Yongki mengambil jaket kulitnya dari kursi lalu dan mengenakannya. Ia hanya mengangkat bahunya dan membuat gerakan agar Kei mengikutinya keluar radio.
“Aku lagi berantem ama bokap. Jadi males pulang,” ujar Yongki pada akhirnya. “Ayo kuantar saja. Rumah kamu masih yang di daerah komplek buah batu itu kan?”
Kei sedikit ragu, namun akhirnya ia mengangguk. Mereka berjalan beriringan keluar radio dan mendapatkan motor besar Yongki hanyalah satu-satunya kendaraan yang ada dipelataran parkir depan.
“Naik dong!” perintah Yongki pada Kei saat dia sudah siap mengendarai motornya lengkap dengan sarung tangan dan helmnya.
“Helm buat aku mana?”
“Ga ada, sayang. Aduh, ga usah pake helm. Udah malam juga.”
“Ga mau ah, aku takut polisi,” Kei langsung ragu.
Yongki langsung marik tangannya.”Polisi takut ama gw lagi, Kei,”ia tertawa.”Ayolah, lagian biar keliatan lebih keren tanpa helm. jangan lupa ntar peluk pinggang aku dari belakang, ok?” canda Yongki.
“Dasar lo!” Kei ikut tertawa. Ia akhirnya menurut untuk naik dan duduk di belakang Yongki.
Setelah Kei naik, Yongki malah yang terdiam sesaat. Dia nampak tertegun akan sesuatu didepannya. Matanya tampak mencari-cari sesuatu.
“Kenapa lagi?” tanya Kei.
“Ada yang aneh…,”dia bergumam. “Kayaknya tadi aku lihat seseorang dibalik pagar deh. Tapi ketika aku perhatikan lagi, dia menghilang…”
“Idih… siapa?” Kei bergidik.
“Perasaan gw aja kali,” kini Yongki jadi tidak yakin akan penglihatannya barusan. Ia menyalakan mesin dan perlahan mengendarai motornya perlahan keluar dari area radio. Setelah memasuki jalur utama, Yongki mulai menancapkan gasnya.
“Hei pelan-pelan dong!”protes Kei sedikit berteriak agar suaranya terdengar diantara deru suara motor Yongki.
“Jam segini sayang kalau ga dimanfaatin buat adu adrenalin, Kei,”balas Yongki keras. Ia tampak sangat menikmati suasana malam di tengah kota Bandung dengan motor kebanggaannya itu. “Kamu wanita macho juga ya, Kei. Sudah kencang begini aku belum juga dipeluk.”
“Apa??” Kei tidak mendengar kata-kata Yongki dengan jelas.
“Aku bilang ‘kamu macho juga sudah kencang begini belum memeluk aku juga!!” ulang Yongki lebih keras. Lalu ia tertawa terbahak bahak ketika Kei meninju helmnya dari belakang.
Tiba-tiba saja sebuah mobil pick-up putih menyalip mereka dari sebelah kanan, mengeluarkan bunyi decit yang sangat keras, sebelum akhirnya berhenti dan menghalangi motor yang dikendarai Yongki dan Kei. Yongki mengerem motornya spontan dan mendadak, sampai kepala Kei terantuk-antuk kepunggung Yongki dengan keras. Untung jalanan mulai sepi. Hanya ada beberapa motor dan mobil yang tampak tertarik dengan adegan penyalipan tadi, dan langsung memelankan laju kendaraanya untuk melihat apa yang akan terjadi.
“Brengsek!”maki Yongki bernafsu. ‘Kamu ga apa-apa kan Kei? Maaf, mobil depan ngajak berantem kayaknya!”
Yongki dan Kei langsung turun dari motor bersamaan dengan pria yang dimaki brengsek tadi keluar dari mobil pick-upnya.
Jantung Kei langsung berdegup sangat keras saat melihat pria itu mendekat. Ia spontan menarik tangan Yongki untuk tidak menghajar pria tersebut, setelah melihat gelagat yang tidak baik dari sikap Yongki tadi. “Itu Vicky, Yongki…”
Yongki melepas helmnya dengan kasar dan memperhatikan pria yang berjalan semakin mendekat tadi.
“Hei, Man!”sapa Yongki tidak suka. “Kalau mau suruh aku berhenti tadi, jangan kayak gitu donk caranya, Vick!”
Vicky tampak tidak memperdulikan kata-kata Yongki. Ia terus saja berjalan melewati Yongki dan mendekati Kei. Ditariknya tangan Kei langsung dan membawanya kembali kearah mobil pick up tempatnya berhenti secara mendadak tadi. Kei bergidik, namun ia tidak kuasa menarik kembali tangannya dan mengikuti perintah tanpa suara Vicky tadi.
“Hei, hei… ada apa ini? Apa kalian lagi berantem??” Yongki mulai bingung dengan aksi yang dilakukan Vicky tadi. Menyapa dan melihat dirinya juga tidak. Ia memang tidak begitu mengenal Vicky, dan hanya sebatas diperkenalkan sebagai pacar oleh Kei beberapa waktu yang lalu. Ia sadar ia tidak berhak untuk turut campur atas masalah yang dihadapi pasangan itu, namun mengetahui tabiat Vicky malam ini, ia agak sedikit ragu melepas Kei begitu saja.
“It’s okay, Yongki..,” teriak Kei. “Aku pulang dengan Vicky saja. Thanks ya sudah mau mengantar tadi…” suara Kei tenggelam saat ia masuk ke dalam pick-up dan pintu ditutup oleh Vicky. Mobil itu pun langsung melesat kencang.
“Goblok tuh cowok…”maki Yongki pelan. Ia kembali ke motornya dan memutuskan untuk tidak mengikuti mobil Vicky tadi. Semoga tuh cewek baik-baik saja deh, harap Yongki dalam hati.
Didalam mobil pick-up Vicky diam seribu bahasa. Wajahnya sangat dingin dan sorot matanya penuh kebencian. Ia melajukan mobilnya dengan sangat tidak terarah dan menakutkan buat Kei.
“Vicky… please…” Kei ketakutan.
“Diam kamu…” suara Vicky sangat lirih dan hampir seperti berbisik, namun sangat menyakitkan.
“Aku tidak mengerti kenapa kamu marah. Kali ini apa salahku?” Kei tidak menuruti kata-kata Vicky yang menyuruhnya untuk diam.
“Aku bilang DIAAAM KAMU KEI…!!” bentak Vicky keras dan langsung membanting setirnya ke kiri. Ia memasuki sebuah komplek perumahan tidak dikenal dan berhenti mendadak tepat di depan portal jalan yang menutupi akses kendaraan yang masuk. Jika tidak ada portal itu, Kei sangat yakin Vicky akan terus menancapkan gasnya dan mengendarai mobil ini dengan lebih gila.
Vicky mematikan mesin mobil dan langsung menatap Kei dengan amarah yang tidak bisa dilukiskan oleh Kei selama ini. Kei bergidik. Ia gemetaran.
“Aku benci kamu berboncengan dengan si Yongki brengsek itu! Aku benci setiap kali kamu berhubungan dengan pria manapun juga!! Aku tidak suka, Kei!! Kamu milikku! Kamu hanya milikku!”
“Tapi.. kamu yang bilang kamu tidak bisa jemput aku malam ini…” suara Kei seperti tercekik.
“Aku hanya mengetes kamu, Kei! Aku sudah ikuti kalian dari mulai di radio tadi! Baru semalam saja aku tidak datang, kamu sudah bersama orang lain!!”
Darah Kei berdesir panas. Apakah Vicky adalah orang yang dilihat Yongki tadi mengendap-ngendap diluar pagar tadi?, pikirnya kalut.
“Vicky… itu hanya Yongki. Dia Yongki, temen aku, Vicky! Kamu kenal dia… dia hanya mau mengantar aku…”
“Dia menyentuh tanganmu!! Aku lihat itu!” potong Vicky, matanya mulai memerah dan nafasnya terengah-engah. Tiba-tiba saja Vicky mendorong kedua bahu Kei sampai tubuhnya terhempas kepintu kiri dengan cukup keras. Bahkan kepala belakang Kei terantuk kaca mobil dengan sangat keras.
“Aaahhh…” Kei langsung tertunduk dan memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut. Belum selesai mengatasi rasa sakit dan pusingnya, dagunya langsung diangkat kembali dengan kasar oleh Vicky seperti merasa tidak ada yang terjadi pada Kei sama sekali. Wajah Vicky hanya beberapa senti saja dari mukanya.
“Dengar Kei, aku tidak mau ini terjadi lagi… Hanya aku yang berhak memilikimu. Hanya aku yang mencintaimu…” bisik Vicky ditelinga Kei. Nafas Vicky yang panas terasa ditelinga Kei. Kei berontak dan melepas tangan Vicky dari wajahnya. Sudah jatuh air matanya.
“Kamu… sakit, Vicky!” teriaknya. Vicky langsung terdiam. Kaget mendengar kata-kata Kei barusan. Tubuhnya langsung bergerak mundur. Matanya menatap Kei tidak percaya. Kei kembali ketakutan melihat perubahan diri Vicky atas teriakannya barusan. Ia membayangkan sesuatu yang buruk pasti akan terjadi padanya setelah ini, dan…
Brak! Brak! Brak!
Kei menutup mulutnya untuk tidak berteriak atas apa yang dilihatnya. Vicky memukulkan kepalanya sendiri ke setir mobil sebanyak tiga kali. Bahkan ada noda darah yang langsung keluar dari dahi dan bibirnya. Ia lalu menoleh dengan lemas ke arah Kei. Mata Vicky pun mulai membasah dengan air mata.
“Aku terlalu mencintaimu, Kei… Aku tidak sakit,”bisiknya lirih.
Kei hanya diam. Ia tampak sangat terpukul. Kei hanya bisa menangis. Isakannya lalu terhenti saat tangan Vicky mengusap lembut pipi dan rambutnya.
“Katakan kamu juga mencintaiku, Kei…”
Kei memalingkan wajahnya dari tatapan Vicky. Ia tidak berani menjawab apapun juga.
Brak! satu kali lagi hentakan kepala ke setir terjadi dan Vicky tampak mulai goyah.
“Stop, Vicky! Stop, please…!!” teriak Kei kembali terisak. Ia tidak sanggup melihat Vicky melakukan hal itu lagi.
“Aku akan berhenti kalau kamu bilang kamu mencintaiku, Kei!”
“Iya, iya, aku mencintaimu, Vicky…”kalimat itu pun keluar dari mulut Kei.
Vicky menatap Kei. Tampak liar. Dan Kei merasa tersudut akan hal itu.
“Aku.. aku mencintaimu, Vicky…” ulang Kei terbata-bata namun lebih keras dari sebelumnya.
Vicky tersenyum. Walau tampak begitu pahit. Ia mengusap darah di dahi dan bibirnya dengan punggung tangannya.
“Kemarilah sayang…” tangan Vicky menarik Kei kedalam pelukannya.
Kei menurut. Vicky memeluknya dengan sangat erat dan itu menghancurkan hatinya. Kei terdiam tidak berdaya didalam pelukan Vicky.
“Kei sayang, Kei-ku sayang… Kamu tahu kan kalau aku terlalu mencintaimu…”
Kei menahan isakannya. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan lagi terhadap Vicky. Haruskah cinta seperti ini rasanya?
“Sekarang aku antar kamu pulang yah…”
* * *
End of Blues… (Part 2 – Bias)