The Graffiti of Judith Diaz











{March 21, 2015}   Ladies Room Story

Ladies Room Story

Bibirnya dipulas lipstik nan merah, seakan-akan disiapkan untuk kesan menantang.

Rambut keritingnya yang panjang itu dibiaskan dari wajah mulusnya agar tak mengganggu aktivitas berdandannya itu.

“Aku menyerah. Mungkin juga sudah sadar. Jadi aku mundur secara langsung,” si bibir merah itu mengucapkan seutas kalimat pada teman yang sedang mengeringkan rambut disampingnya.

Begitu melihat temannya tak bergeming, ia pun melototkan mata padanya. Lantas sang teman, yang hanya mengenakan handuk itu pun mengecilkan bising hairdyer dengan pilihan angin pelan saja.

“Kamu ngomong apa?” temannya tak terima dipelototi. “Aku gak kedengeran tau!”

“Dia bilang dia mundur dari si Ray, Deb… ah, finally!” yang jawab malah temannya yang lain, yang baru saja masuk ruangan ini, dan langsung mojok di wastafel paling ujung. Ia melepas ikatan rambutnya lalu mencuci mukanya yang polos dari make up seperti orang baru bangun tidur.

Orang yang dipanggil ‘Deb’ tadi langsung mematikan hair dryer.

“Serius kamu Tammy?!”

Si cantik Tammy mengangguk, kali ini dia konsentrasi memulas bulu matanya dengan mascara.

“Why? You’re so in love with this guy until you want to do anything for him…” nada Deb sedikit sinis.

“Yeah, kayak dia ga cinta mati juga apa sama mantan-mantannya dulu, Deb,” sahut si muka polos yang kali ini hanya bisa menjerembabkan tubuh mungilnya pada sofa santai dengan gaya hendak tidur lagi.

“Hahaahaa… iya ya…” tiba-tiba wanita lain yang juga sedang berdandan  tertawa mendengar kalimat barusan. Memandangnya sama seperti melihat vampir cantik dalam cinema. Wajahnya begitu pucat walau sudah ditutup make up dengan sempurna. Tapi sungguh, ia mirip K Stew setelah berubah jadi vampir!

“Kamu ketahuan istrinya ya, Tam?” kali ini si vampir nanya serius.

Tammy hanya memonyongkan bibirnya. Matanya tetap sibuk menjelajah wajahnya sendiri. “Nope!”

“So, why?” tanya Deb lagi. Ia benar-benar berminat untuk mendengar penjelasan Tammy sampai ia tak jadi mengeringkan rambutnya.

“Seperti kalian tahu, aku beberapa kali pacaran sama suami-suami orang. Dan selalu mereka-mereka ini memang orang-orang yang bermasalah sama istrinya. Gak puaslah, berantem mulu lah, udah gak cocok lah, gak sejalan lah…”

” Ya ya… then?”si muka make up polos tak sabaran.

“Dan anehnya, mereka juga tetap mempertahankan rumah tangga mereka demi keluarga mereka kan? Aku sih oke-oke aja tadinya, toh aku juga hanya mo having fun!” Tammy berhenti sejenak. Ada mimik terluka setelah ia menyatakan itu. “Tapi Ray… dia.. dia adalah lelaki yang berbahagia bersama istri dan anak-anaknya. Bahkan ia banyak memosting mengenai seluruh aktivitas mereka sekeluarga. Tak sedikitpun masalah muncul diantara mereka. So, kenapa dia seakan masih membutuhkan kasih sayang aku?”

Si vampir terrcenung. Ia mendatangi Tammy dan menarik rambut keritingnya. “Hei, kamu gak bener-bener jatuh cinta sama Ray kan??”

Tammy menggeleng perlahan.”Gak lah. Aku hanya… berfikir.”

“Soal?” tanya Deb.

“Kalau aku punya suami nanti, akankah dia mencari orang lain diluar sana? Begitukah nasibku nanti kalau aku bersuami? Bahkan suami sebaik Ray pun masih bisa membutuhkan aku…”

Wanita-wanita itu terdiam, sibuk dengan pikiran akan kalimat terakhir Tammy tadi.

Dengan perlahan aku bangkit dari dudukku, sambil tetap mengamati wanita-wanita tadi sekilas melalui ujung mataku. Kuakhiri aktivitas chattingku melalui whatsapp dan kulangkahkan kakiku keluar dari Ladies Room ini. Aku menarik nafas panjang berkali-kali sambil menggenggam keras ujung pakaianku sendiri. Menahan semua gejolak rasa yang tak teredam nafas panjangku.

 * * *

Jam 3 pagi. Pintu kamarku terbuka dan ia masuk. Aku terbangun saat ia merebahkan tubuhnya disampingku. Kupeluk ia dengan kasih sayang dan ia balas memelukku, lalu terlelap.

Yah, inilah aku. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tidak mungkin bisa melepasmu. Kehilanganmu sama saja dengan membunuhku.

Sungguh, aku tahu apa yang kamu lakukan diluar sana.

Aku tahu.

Sangat tahu.

Tapi… aku sangat mencintaimu.

Tidakkah itu cukup kekasihku?

###



{September 11, 2011}   Blues… (Part 2 – Bias )

“Kamu harus bantu aku, Piet. Please…please…”erang Kei putus asa melihat deadline laporan seminar minggu kemarin yang tertera di note booknya. Besok. Pipiet cuek saja mendengarnya. Ia membereskan lembaran-lembaran kertas laporannya kedalam tas diatas motor hitam yang diparkir ditempat yang cukup teduh di pelataran parkir kampus Setia Budi.

“Kenapa bisa ga selesai sih?” wajah Pipiet cemberut. Walau dicemberutin, Kei tahu kalau mimik Pipiet itu tidak berarti marah. Dia tau Pipiet sayang padanya dan begitu peduli pada keberhasilan mereka berdua untuk menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Pipiet memberikan helm berwarna pink cerah yang langsung diterima Kei dengan tangan kanannya.

“Jadwal manggungku makin padat bareng Vicky, piet. Trus malam ini aku ada jadwal siaran.”

“Night show lagi?!” Pipiet kaget. “Kamu tuh bener-bener ga bisa bagi waktu ya. Inget, jadwal wisuda yang kita targetkan itu ada di bulan November. Dan sekarang sudah June loh. kalau kamu sibuk terus, aku akan ninggalin kamu di kampus ini. Sendirian ama Prof. Anung!” ancam Pipiet galak.

Wajah Kei langsung berubah pias. Professor Anung memang ada dalam list pertama dosen killer yang membuat Kei angkat tangan. Hanya pipiet yang mampu menaklukan keberingasan beliau di setiap seminar yang dihadapi mereka berdua. “Maaf, Piet. Bukan karena apa-apa kok. Aku benar-benar lagi butuh uang yang banyak. Selain buat biaya skripsi, Tania kan mulai masuk kuliah Tahun depan. Aku harus mempersiapkan dananya juga. Kasihan adikku kalau ga kuliah. Makanya, aku kejar jadwal manggung yang banyak dan nambah-nambah jadwal siaran…”

“Ah, kalau siaran sih kamu memang hobby!” pangkas pipiet. “Kamu sih selalu menawarkan diri jadi pengganti kalau ada teman-teman kamu yang ga bisa siaran kan? Memang kamu malas aja setiap ngerjain skripsi.” Pipiet menjitak kepala Kei. Walaubagaimanapun dia tau kenapa Kei harus pontang panting cari uang demi kuliahnya dan adiknya. Kei hanya hidup bersama ibu dan adiknya, Tania, yang sekarang duduk di bangku terakhir SMA. Ibu Kei sudah lama bercerai dari ayahnya, jauh sebelum Kei mengenal arti kata kerasnya bertahan hidup. Bahkan Tania pun baru berumur 2 tahun saat ditinggalkan. Demi menghidupi mereka bertiga, Ibu Kei bekerja sebagai seorang pegawai administrasi di sebuah klinik kesehatan yang sederhana di daerah Bandung Selatan. Sampai saat ini. Bagi Pipiet, melihat potret seorang Kei menimbulkan kekaguman dan inspirasi tersendiri bagi dirinya. Walau ia selalu kesal karena selalu diminta bantuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah Kei, ia sangat sayang pada sosok sahabatnya itu yang menurutnya sangat berbakat. Suara Kei bukan hanya bagus untuk menyanyi, bahkan dengan hanya mendengarkan ia berbicara sekalipun, dia sangat menghipnotis pendengarnya di radio. Siaran night show yang dimulai pukul 10 – 12 malam dan bertema “the cozy night” yang dibawakannya di radio TRX FM memiliki pendengar setia yang cukup banyak.

“Karena sudah dijitak, artinya ok kan?,” rayu Kei sambil mengedipkan mata genitnya pada Pipiet. Pipiet tertawa.

“Ya mau gimana lagi. Oke, aku kerjain malam ini sambil dengerin kamu siaran. Tapi aku ga bertanggung jawab dengan hasilnya ya. Dan kamu harus bisa mempresentasikan itu sendiri loh!” kata Pipiet sambil menaruh tas ranselnya dibagian depan motor bebek kesayangannya dan menyalakan mesinnya.

“Deal!” teriak Kei bersemangat sambil memakai helm berwarna pink cerah favoritnya tadi. Dia langsung duduk dibelakang dan memeluk Pipiet dengan senang. “Makasi yaaaaa. Senang deh punya sobat kayak kamu.”

“Apa-apaan sih! Ga bisa nyetir nih…Hahahaha” tapi Pipiet ikut merasa kegelian atas ulah Kei. Motor mereka pun melaju keluar meninggalkan pelataran parkiran kampus.

* * *

“Masih bersama saya Kei Andara dalam lima menit terakhir sebelum The Cozy Night akan usai, Listeners…Setelah ini rekan saya, Rully Angkasa akan lanjut menemani malam anda dengan lagu-lagu slow melankolisnya ya. Well, membicarakan cinta memang tidak pernah ada habisnya. Dari berbagai kisah cinta yang pernah listerners sharing disini, memang kisah malam ini sungguh memberikan banyak aspirasi kenapa cinta harus kita perjuangkan. Terima kasih sekali lagi untuk Dewa yang sudah mau berbagi kisah malam ini, anda memang layak mendapatkan Olivia pada akhirnya. Semoga kisah cinta kalian berdua langgeng, dan tetaplah menabur bumbu-bumbu kasih sayang diantara kalian ya…” Kei melihat lampu penerima telepon berkedip-kedip. Ia langsung melihat Rully yang sedang duduk dibalik kaca bening dihadapannya, dan memberikan kode minta waktu sedikit lagi sebelum siarannya berakhir. Rully, rekan penyiar yang akan melanjutkan siarannya setelah Kei, menganggukkan kepalanya.

“Masih ada penelepon yang masuk nih. Walau waktunya sudah habis untuk sharing, saya mau menyapa anda dulu ya, Listeners dan boleh merequest lagu yang ingin anda dengarkan malam ini ya. Halo, selamat malam…”

“Malam, Kei…” suara pria melalui telepon terdengar ramah dan hangat.

“Malam juga. Terima kasih sudah menghubungi saya di ‘The Cozy Night’ ya. Tapi untuk sharing kisah cintanya bisa kita lanjutkan besok malam, tidak apa-apa kan?”

“Oh, ga apa-apa kok, Kei. Hanya mau request lagu kok. Boleh ya? Saya lagi ingin mendengarkan If you are not the one, dari Daniel Beddingfield.”

“Boleh saja. If you are not the one Daniel Beddingfield, Listeners… akan menemani anda sekaligus mengakhiri ‘The Cozy Night’ malam ini. Mau diberikan kepada siapa nih,…” Kei lupa apa pria tadi sudah menyebutkan nama sebelumnya.

“Ga ada, buat Kei saja. Dari… Alex.” jawab pria di telepon seperti mengerti bahwa Kei membutuhkan namanya.

Nafas Kei tercekat. Alex?

“H..Hai, Alex…” sapa Kei berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ya, Kei ingat. Ini adalah suara Alex yang sempat dikenalnya dibulan Februari yang lalu.

“Hai, Kei. Lama tidak bertemu ya. Minta diputarkan lagu tadi ya.”

“Oh, of course.” Jari Kei langsung sigap mengetik sesuatu di keyboard PC dan mempersiapkan lagu Daniel Beddingfiled yang diminta sebagai lagu pembuka acara Rully Angkasa setelah siarannya usai.

“Thanks ya, Kei, And enjoy the rest of your night..” Telepon langsung ditutup.

“You too, Alex. So, finally, this is the song ‘If you are not the one’ dedicated for you, Alex. Once again, thank you so much for sharing your love story with me Listeners, dan saya Kei Andara mohon pamit dari ‘The Cozy night’. I’ll give the rest of the night to u now, Rully..”

“Thanks, Kei… Radio TRX 100.25 FM Listeners! This is Rully Angkasa… And I…”

Kei melepaskan headsetnya dengan cepat. Ia melambai pada Rully dan memberi isyarat bahwa ia akan segera pulang. Masih menyapa listeners, Rully menganggukkan kepalanya dan balas melambaikan tangannya pada Kei.

Suasana kantor Radio TRX di jam 12 malam sudah sangat sepi. Hanya ada Michael a.k.a Bang Usep, sang operator merangkap satpam radio ini yang menjaga di pintu depan. Kei berlari cepat mengitari ruang santai tempat dimana para staff radio biasa bermain bilyard, dan melewati Michael yang setengah tertidur dibangkunya.

“Pulang ya, bang…” teriak Kei.

Michael terhentak dan mengusap matanya. “Eh, iya neng Kei. Hati-hati…”

Sesaat Kei mendengar lagu If you are not the One-nya Beddingfield mulai mengalun, dan itu menghentikan Kei untuk berhenti berlari. Kei terdiam sesaat dan pikirannya langsung melambung ke malam Valentine hampir 5 bulan yang lalu itu. Kei masih mengingat Alex, entah atas dasar apa, secara detail. Alex yang tinggi, putih, ramah… yang memiliki sorot mata paling menghangatkan di dunia. Atau mungkin hanya Kei saja yang merasa terbius akan mata coklat itu. Tidak semua orang di dunia. Well, Kei hanya menarik nafas panjang memikirkan kenapa pria itu bisa mendengarkan malam ini dia siaran, setelah sekian lama menghilang. Mungkin Alex habis bertengkar dengan cewek super glamournya itu. Atau sudah putus?, Kei tersenyum sendiri akan kata-katanya yang lebih berupa harapan itu. Toh lagu yang di request juga kata-katanya sangat menyayat hati, mengenai pria yang sedang bimbang karena mencintai seorang wanita.

“Senang ya di telepon Alex?”

Kei menoleh kearah sumber suara. Vicky sudah berdiri diluar gerbang dengan mobil pick-up putihnya. Gaya santainya masih seperti biasa. Tapi Kei bisa merasakan aura yang dikeluarkan dari Vicky tidak seramah biasanya. Ia tampak … marah.

“Ah, biasa saja. Dia hanya request lagu aja kok,” ujar Kei santai sambil berjalan mendekati Vicky dan memberikan senyum terbaiknya. Di dekati wajah Vicky dan dicubitnya hidung Vicky dengan manja. Vicky tidak bergeming.

“Sejak kapan dia mendengarkan siaran kamu?!” suara Vicky mulai terdengar kasar.

Kei kaget mendengarnya. Vicky tidak pernah membentaknya sekalipun selama ini. “Entahlah… Aku ga pernah tau siapa aja yang mendengarkan siaranku, dan ga bisa menolak siapapun yang mendengarkan kan…? Alex sama saja dengan pendengarku yang lainnya…”

“Oh ya?!” Vicky memegang tangan kanan Kei dengan sangat keras dan menariknya kedadanya. Tubuh Kei sampai tertarik kedepan. “Lalu kenapa kamu tampak tersenyum senang begitu keluar dari sini kalau bukan karena telepon terakhir dari Alex tadi?!” Kei mengerang kesakitan. Dia menoleh keberbagai arah mencari-cari apakah ada orang lain disekitar mereka. Bahkan ia menoleh kembali ke belakang berharap Michael melihat dirinya. Namun kekecewaan langsung terlihat dimatanya begitu secara sekilas ia melihat Michael tengah menelungkupkan kepalanya diatas meja resepsionis.

“Kamu kenapa Vicky? Aku gak ngerti kenapa kamu begini…” Kei berusaha membebaskan tangannya dari cengkeraman Vicky namun gagal. Ia lagi-lagi melihat ke berbagai arah berharap ada seseorang yang lewat.

“Hei, kamu cari-cari Alex? Kamu pikir dia sedang ada disini?”

“Apa maksud kamu? Aku…”

“Oh, atau…malah kamu sudah janjian mau dijemput olehnya malam ini?” Vicky ikut melihat keberbagai arah seperti orang kesetanan.”Kamu sudah sering bertemu dia diam-diam di belakang aku ya!”

“Kamu kenapa? Aku sama sekali tidak pernah bertemu Alex sejak tampil di restonya itu, dan ini benar-benar pertama kalinya dia menelepon… Aaaah, sakit Vicky…” Kei merintih begitu tangannya kembali ditarik dengan kasar oleh Vicky. Seperti diseret, Vicky menarik Kei dan memaksanya masuk ke mobil. Begitu Kei masuk mobil, ia pun membanting pintu dengan keras. Dengan langkah penuh kemarahan, Vicky berjalan cepat kearah pintu satunya, dan langsung naik ke mobil. Wajahnya tampak sangat kaku, dan ia menyalakan mesin mobil dengan tergesa-gesa dan langsung tancap gas.

Kei tidak berani memandang Vicky sama sekali. Dia hanya menundukkan kepalanya, mengusap-usap pergelangan tangan kanannya yang sakit, dan menahan dirinya untuk tidak menangis. Ia tidak pernah mengenal Vicky dengan sikapnya malam ini. Dan sungguh ia tidak mengerti kenapa Vicky bisa semarah itu hanya karena seorang Alex yang tidak pernah memiliki hubungan apapun dengannya itu menelepon di acara siarannya?

Vicky menoleh ke arah Kei yang sedang memegang pergelangan tangannya. Ia bisa melihat pergelangan tangan Kei memerah akibat cengkeraman kasarnya tadi. Dan ia juga bisa melihat mata Kei sedikit membasah. Sesekali ia mendengar Kei mencoba menahan isakan tangisnya. Tiba-tiba rasa kalut yang menghampiri sebelumnya berubah menjadi rasa penyesalan. Vicky menarik nafas panjang dan segera menghentikan truk pick-upnya ke kiri dan berhenti di depan ruko yang sudah tutup.

“Sayang… Kei sayang,” dia menarik bahu Kei kedadanya dan memeluk Kei. Tubuh Kei sedikit berontak, namun tangan Vicky lebih kuat mendorong. “Maafin aku, Kei… Aku cemburu. Aku sangat cemburu. Kamu milikku, dan aku takut kamu pergi dariku.”

Kei terdiam kaku di sandaran dada Vicky.

“Kei, maafin aku..”

Kei tidak menjawab. Ia hanya terdiam dan tetap merebahkan kepalanya ke dada Vicky.

“Kei, kamu dengar aku?”

Masih tidak bergeming. Kei begitu bingung dengan apa yang terjadi barusan. Tiba-tiba saja kedua tangan Vicky mengangkat wajahnya dan memaksa Kei untuk bertatapan dengannya.

“Aku begini karena aku terlalu mencintaimu,Kei! Kamu mengerti kan?” tatapan Vicky yang sangat tajam pada dirinya memaksa Kei untuk menganggukan kepalanya perlahan.

Vicky langsung tersenyum melihat anggukan kepala Kei. Dan ia kembali memeluk Kei dengan erat. “Oh, God… Kei, Aku terlalu mencintaimu. Terlalu mencintaimu…”

* * *

“Aku gak nyangka…” lirih suara Pipiet keluar dari mulutnya. Bahkan ia meletakkan sendok nasinya di piring dan tidak bernafsu menyelesaikan makan siangnya. Kantin kampus ramai oleh mahasiswa yang sedang makan, mengerjakan paperwork, pacaran, bahkan untuk sahabat yang saling curhat seperti yang Kei lakukan dengannya sekarang dengan menceritakan kejadian malam tadi seusai siaran.

“Dia sangat berbeda. Begitu berubah! Tapi dia bilang itu karena cemburu.”

“Cemburu dengan orang yang baru sekali bertemu denganmu? Itu aneh sekali! Untung dia tidak menyakitimu lebih parah lagi!” Pipit langsung naik pitam.

“I am fine, Piet. Dia ga menyakiti aku kok. Tadi malam dia hanya sedikit sensitif. Mungkin aku terlalu sibuk dan tidak banyak menghabiskan waktu dengannya. Apalagi dengan kesibukan aku menyelesaikan skripsi sekarang.”

“Tidak banyak menghabiskan waktu apaan?? Malam ini bahkan kamu mau manggung dengan dia kan? Aku takut ada kejadian aneh lagi, Kei. Aku khawatiiiir…” Pipiet serius memperlihatkan mimik khawatirnya pada Kei.

Kei tersenyum. “Ga akan ada apa-apa. Malam ini Vicky akan menjadi pria paling manis yang pernah aku kenal okay? Aku tahu itu, karena dia selalu bahagia dan memanjakan aku setiap kali kami manggung bersama. So, no worries ok?”

“Well… apa kata kamu, deh Kei. Yang kulihat sih kombinasi musik dengan kamu memang satu-satunya hal yang buat dia tenang. Ga ada hal lain. Coba lihat aja sekarang, dia tidak menghubungi kamu dan perduli dengan bertanya hasil dari presentasi pentingmu tadi kan?” lanjut Pipiet masih kurang puas akan rayuan Kei untuk tidak membuatnya khawatir.

Kei tidak menjawab, ia menunjukkan jari telunjuknya pada seorang pria berkemeja kotak-kotak biru yang mendatangi mereka berdua. Pria itu tersenyum pada mereka dari kejauhan. Pipiet langsung memandang kei dengan khawatir.

“Maaf ya Kei, aku ga bisa pulang bareng ama kamu. Dani mau ajak aku nomat nih.”

“Enjoy…” Kei tersenyum pada Dani, kekasih Pipiet yang paling setia. Sudah dari semester 1 mereka berpacaran dan Kei tidak pernah mendengar masalah-masalah rumit yang terjadi diantara mereka berdua. Benar-benar bikin iri.

“Bye, Kei.” Dani langsung menggaet tangan Pipiet untuk segera meninggalkan kantin. “Kita masih harus kejar waktu nih.”

Pipiet melambai pada Kei dengan sorot mata yang tetap khawatir.

Namun kekhawatiran Pipiet tidak beralasan. Malam itu Vicky dan Kei tampil cemerlang di sebuah Jazz Cafe satu-satunya di kota Bandung. Mereka selalu tampil dua kali seminggu di tempat ini dan menuai decak kagum pengunjung yang terhibur. Kali ini justru mereka tampil lebih mesra dan mendapatkan pujian dari banyak orang. Beberapa lagu cinta bahkan Kei persembahkan buat Vicky dan disambut dengan godaan-godaan dari para pengunjung. Sepanjang malam Vicky menatap Kei dengan sayang dan selalu berbisik lirih ,”Aku terlalu mencintaimu, Kei…”

* * *

Kei berjalan menuruni tangga dengan sangat perlahan. Seprti malam-malam biasanya, suasana radio TRX sudah sangat sepi usai dia siaran “the cozy night”. Ia berusaha mengingat nomer taxi resmi, namun gagal. Lalu ia mencoba mencari nomer tersebut di Hp-nya, walaupun ia sama sekali tidak ingat pernah menyimpannya. Kei jarang menggunakan Taxi, karena ia juga baru setengah tahun ini mengambil siaran malam. Selain itu, ia selalu dijemput Vicky beberapa bulan terakhir ini. Namun malam ini, tiba-tiba saja Vicky sms Kei di jam ia siaran dan mengatakan mendadak harus jadi additional player buat salah satu band cafe yang tampil malam ini di E-cafe. Vicky tidak akan menjemputnya malam ini.

“Awas, ntar kamu jatuh, Kei!” sebuah suara berat pria mengagetkannya.”Baca sms-nya nanti aja kalau sudah turun tangga kenapa..”

Kei tersipu malu. “Kamu masih disini, Yong? Kupikir kamu sudah pulang pas aku masuk studio tadi.”

Yongki, salah satu penyiar TRX yang paling digandrungi wanita karena suara beratnya yang sexi itu hanya menggelengkan kepala. Matanya terus fokus pada ujung tongkat bilyardnya yang mengarah ke ujung meja tersebut. Satu gerakan kilat menghentak, namun gagal. Tidak ada yang masuk.

“Damn it!”makinya. Lalu ia berpaling pada Kei dan meletakkan tongkat bilyard di kayu penyangganya. “Kayaknya gue belum lihat Vicky tuh.”

“Dia ga bisa jemput malam ini. Aku mau menelepon taxi barusan, tapi lupa nomernya. Kamu punya?” tanya Kei.

“Ngapain pake taxi. Gw anter aja. Gw juga mau pulang aja deh sekarang,” kata Yongki tampak tidak yakin dengan keputusannya untuk pulang.

“Something wrong?” tanya Kei merasa aneh atas kalimat terakhir Yongki barusan. Yongki mengambil jaket kulitnya dari kursi lalu dan mengenakannya. Ia hanya mengangkat bahunya dan membuat gerakan agar Kei mengikutinya keluar radio.

“Aku lagi berantem ama bokap. Jadi males pulang,” ujar Yongki pada akhirnya. “Ayo kuantar saja. Rumah kamu masih yang di daerah komplek buah batu itu kan?”

Kei sedikit ragu, namun akhirnya ia mengangguk. Mereka berjalan beriringan keluar radio dan mendapatkan motor besar Yongki hanyalah satu-satunya kendaraan yang ada dipelataran parkir depan.

“Naik dong!” perintah Yongki pada Kei saat dia sudah siap mengendarai motornya lengkap dengan sarung tangan dan helmnya.

“Helm buat aku mana?”

“Ga ada, sayang. Aduh, ga usah pake helm. Udah malam juga.”

“Ga mau ah, aku takut polisi,” Kei langsung ragu.

Yongki langsung marik tangannya.”Polisi takut ama gw lagi, Kei,”ia tertawa.”Ayolah, lagian biar keliatan lebih keren tanpa helm. jangan lupa ntar peluk pinggang aku dari belakang, ok?” canda Yongki.

“Dasar lo!” Kei ikut tertawa. Ia akhirnya menurut untuk naik dan duduk di belakang Yongki.

Setelah Kei naik, Yongki malah yang terdiam sesaat. Dia nampak tertegun akan sesuatu didepannya. Matanya tampak mencari-cari sesuatu.

“Kenapa lagi?” tanya Kei.

“Ada yang aneh…,”dia bergumam. “Kayaknya tadi aku lihat seseorang dibalik pagar deh. Tapi ketika aku perhatikan lagi, dia menghilang…”

“Idih… siapa?” Kei bergidik.

“Perasaan gw aja kali,” kini Yongki jadi tidak yakin akan penglihatannya barusan. Ia menyalakan mesin dan perlahan mengendarai motornya perlahan keluar dari area radio. Setelah memasuki jalur utama, Yongki mulai menancapkan gasnya.

“Hei pelan-pelan dong!”protes Kei sedikit berteriak agar suaranya terdengar diantara deru suara motor Yongki.

“Jam segini sayang kalau ga dimanfaatin buat adu adrenalin, Kei,”balas Yongki keras. Ia tampak sangat menikmati suasana malam di tengah kota Bandung dengan motor kebanggaannya itu. “Kamu wanita macho juga ya, Kei. Sudah kencang begini aku belum juga dipeluk.”

“Apa??” Kei tidak mendengar kata-kata Yongki dengan jelas.

“Aku bilang ‘kamu macho juga sudah kencang begini belum memeluk aku juga!!” ulang Yongki lebih keras. Lalu ia tertawa terbahak bahak ketika Kei meninju helmnya dari belakang.

Tiba-tiba saja sebuah mobil pick-up putih menyalip mereka dari sebelah kanan, mengeluarkan bunyi decit yang sangat keras, sebelum akhirnya berhenti dan menghalangi motor yang dikendarai Yongki dan Kei. Yongki mengerem motornya spontan dan mendadak, sampai kepala Kei terantuk-antuk kepunggung Yongki dengan keras. Untung jalanan mulai sepi. Hanya ada beberapa motor dan mobil yang tampak tertarik dengan adegan penyalipan tadi, dan langsung memelankan laju kendaraanya untuk melihat apa yang akan terjadi.

“Brengsek!”maki Yongki bernafsu. ‘Kamu ga apa-apa kan Kei? Maaf, mobil depan ngajak berantem kayaknya!”

Yongki dan Kei langsung turun dari motor bersamaan dengan pria yang dimaki brengsek tadi keluar dari mobil pick-upnya.

Jantung Kei langsung berdegup sangat keras saat melihat pria itu mendekat. Ia spontan menarik tangan Yongki untuk tidak menghajar pria tersebut, setelah melihat gelagat yang tidak baik dari sikap Yongki tadi. “Itu Vicky, Yongki…”

Yongki melepas helmnya dengan kasar dan memperhatikan pria yang berjalan semakin mendekat tadi.

“Hei, Man!”sapa Yongki tidak suka. “Kalau mau suruh aku berhenti tadi, jangan kayak gitu donk caranya, Vick!”

Vicky tampak tidak memperdulikan kata-kata Yongki. Ia terus saja berjalan melewati Yongki dan mendekati Kei. Ditariknya tangan Kei langsung dan membawanya kembali kearah mobil pick up tempatnya berhenti secara mendadak tadi. Kei bergidik, namun ia tidak kuasa menarik kembali tangannya dan mengikuti perintah tanpa suara Vicky tadi.

“Hei, hei… ada apa ini? Apa kalian lagi berantem??” Yongki mulai bingung dengan aksi yang dilakukan Vicky tadi. Menyapa dan melihat dirinya juga tidak. Ia memang tidak begitu mengenal Vicky, dan hanya sebatas diperkenalkan sebagai pacar oleh Kei beberapa waktu yang lalu. Ia sadar ia tidak berhak untuk turut campur atas masalah yang dihadapi pasangan itu, namun mengetahui tabiat Vicky malam ini, ia agak sedikit ragu melepas Kei begitu saja.

“It’s okay, Yongki..,” teriak Kei. “Aku pulang dengan Vicky saja. Thanks ya sudah mau mengantar tadi…” suara Kei tenggelam saat ia masuk ke dalam pick-up dan pintu ditutup oleh Vicky. Mobil itu pun langsung melesat kencang.

“Goblok tuh cowok…”maki Yongki pelan. Ia kembali ke motornya dan memutuskan untuk tidak mengikuti mobil Vicky tadi. Semoga tuh cewek baik-baik saja deh, harap Yongki dalam hati.

Didalam mobil pick-up Vicky diam seribu bahasa. Wajahnya sangat dingin dan sorot matanya penuh kebencian. Ia melajukan mobilnya dengan sangat tidak terarah dan menakutkan buat Kei.

“Vicky… please…” Kei ketakutan.

“Diam kamu…” suara Vicky sangat lirih dan hampir seperti berbisik, namun sangat menyakitkan.

“Aku tidak mengerti kenapa kamu marah. Kali ini apa salahku?” Kei tidak menuruti kata-kata Vicky yang menyuruhnya untuk diam.

“Aku bilang DIAAAM KAMU KEI…!!” bentak Vicky keras dan langsung membanting setirnya ke kiri. Ia memasuki sebuah komplek perumahan tidak dikenal dan berhenti mendadak tepat di depan portal jalan yang menutupi akses kendaraan yang masuk. Jika tidak ada portal itu, Kei sangat yakin Vicky akan terus menancapkan gasnya dan mengendarai mobil ini dengan lebih gila.

Vicky mematikan mesin mobil dan langsung menatap Kei dengan amarah yang tidak bisa dilukiskan oleh Kei selama ini. Kei bergidik. Ia gemetaran.

“Aku benci kamu berboncengan dengan si Yongki brengsek itu! Aku benci setiap kali kamu berhubungan dengan pria manapun juga!! Aku tidak suka, Kei!! Kamu milikku! Kamu hanya milikku!”

“Tapi.. kamu yang bilang kamu tidak bisa jemput aku malam ini…” suara Kei seperti tercekik.

“Aku hanya mengetes kamu, Kei! Aku sudah ikuti kalian dari mulai di radio tadi! Baru semalam saja aku tidak datang, kamu sudah bersama orang lain!!”

Darah Kei berdesir panas. Apakah Vicky adalah orang yang dilihat Yongki tadi mengendap-ngendap diluar pagar tadi?, pikirnya kalut.

“Vicky… itu hanya Yongki. Dia Yongki, temen aku, Vicky! Kamu kenal dia… dia hanya mau mengantar aku…”

“Dia menyentuh tanganmu!! Aku lihat itu!” potong Vicky, matanya mulai memerah dan nafasnya terengah-engah. Tiba-tiba saja Vicky mendorong kedua bahu Kei sampai tubuhnya terhempas kepintu kiri dengan cukup keras. Bahkan kepala belakang Kei terantuk kaca mobil dengan sangat keras.

“Aaahhh…” Kei langsung tertunduk dan memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut. Belum selesai mengatasi rasa sakit dan pusingnya, dagunya langsung diangkat kembali dengan kasar oleh Vicky seperti merasa tidak ada yang terjadi pada Kei sama sekali. Wajah Vicky hanya beberapa senti saja dari mukanya.

“Dengar Kei, aku tidak mau ini terjadi lagi… Hanya aku yang berhak memilikimu. Hanya aku yang mencintaimu…” bisik Vicky ditelinga Kei. Nafas Vicky yang panas terasa ditelinga Kei. Kei berontak dan melepas tangan Vicky dari wajahnya. Sudah jatuh air matanya.

“Kamu… sakit, Vicky!” teriaknya. Vicky langsung terdiam. Kaget mendengar kata-kata Kei barusan. Tubuhnya langsung bergerak mundur. Matanya menatap Kei tidak percaya. Kei kembali ketakutan melihat perubahan diri Vicky atas teriakannya barusan. Ia membayangkan sesuatu yang buruk pasti akan terjadi padanya setelah ini, dan…

Brak! Brak! Brak!

Kei menutup mulutnya untuk tidak berteriak atas apa yang dilihatnya. Vicky memukulkan kepalanya sendiri ke setir mobil sebanyak tiga kali. Bahkan ada noda darah yang langsung keluar dari dahi dan bibirnya. Ia lalu menoleh dengan lemas ke arah Kei. Mata Vicky pun mulai membasah dengan air mata.

“Aku terlalu mencintaimu, Kei… Aku tidak sakit,”bisiknya lirih.

Kei hanya diam. Ia tampak sangat terpukul. Kei hanya bisa menangis. Isakannya lalu terhenti saat tangan Vicky mengusap lembut pipi dan rambutnya.

“Katakan kamu juga mencintaiku, Kei…”

Kei memalingkan wajahnya dari tatapan Vicky. Ia tidak berani menjawab apapun juga.

Brak! satu kali lagi hentakan kepala ke setir terjadi dan Vicky tampak mulai goyah.

“Stop, Vicky! Stop, please…!!” teriak Kei kembali terisak. Ia tidak sanggup melihat Vicky melakukan hal itu lagi.

“Aku akan berhenti kalau kamu bilang kamu mencintaiku, Kei!”

“Iya, iya, aku mencintaimu, Vicky…”kalimat itu pun keluar dari mulut Kei.

Vicky menatap Kei. Tampak liar. Dan Kei merasa tersudut akan hal itu.

“Aku.. aku mencintaimu, Vicky…” ulang Kei terbata-bata namun lebih keras dari sebelumnya.

Vicky tersenyum. Walau tampak begitu pahit. Ia mengusap darah di dahi dan bibirnya dengan punggung tangannya.

“Kemarilah sayang…” tangan Vicky menarik Kei kedalam pelukannya.

Kei menurut. Vicky memeluknya dengan sangat erat dan itu menghancurkan hatinya. Kei terdiam tidak berdaya didalam pelukan Vicky.

“Kei sayang, Kei-ku sayang… Kamu tahu kan kalau aku terlalu mencintaimu…”

Kei menahan isakannya. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan lagi terhadap Vicky. Haruskah cinta seperti ini rasanya?

“Sekarang aku antar kamu pulang yah…”

* * *

End of Blues… (Part 2 – Bias)



January 2004

Bunyi handphone Kei berdering. Tapi diabaikan karena ia masih harus melakukan pembayaran atas take away pizza yang dibelinya.

“Berapa semuanya?” tanya Kei seraya mengambil uang seratus ribuan yang ada didompet hitam mungilnya.

Handphone masih terus berdering, seperti memaksa Kei untuk segera mengangkatnya.

“Seratus lima belas ribu tiga ratus rupiah, Kak.”

“Tunggu…” Kei merogoh kembali selembar dua puluh ribuan dari dompetnya, menyerahkannya pada mbak kasir, dan mengambil HP yang terus berdering semakin keras dari saku depan tas mini ransel yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi.

Nama yang muncul di layar HP nya adalah Pipiet.

“Ya? Halo?”

Kei mendengar suara rintihan kesakitan.

“Kamu kenapa, Piet??” tanya Kei panik.

“Jatuh dari motor di Sarijadi…”

“Haaa?? Kok bisa?”

“Lututku abis kena aspal nih, Kei. Kamu jemput aku ya,… Aku di RS Hasan Sadikin.”

“Duh, aku kesana langsung pakai taxi deh biar cepet. Tapi kenapa kamu bisa sampai jatuh sih? Motor kamu gimana? Ada yang bawain?”

“Aku kaget…” jawab Pipiet pendek tanpa memperdulikan rentetan pertanyaan Kei yang lain.

“Kaget?”

“Aku kaget… karena aku… aku lihat Vicky, Kei. Dia sedang menyeberang. Saking kagetnya aku memperhatikan dia, terus motorku oleng.”

Tubuh Kei langsung lemas. Pikirannya langsung terhempas ke masa itu. “Vicky…?”

“Ya, Vicky. Vicky Januar. Dia hidup…”

Kotak Pizza ditangan Kei pun jatuh.

* * *

14 February 2002

Suara riuh tepuk tangan pengunjung resto bergema meriah seusai lagu terakhir dari Bill whiters – Just the Two of Us dinyanyikan oleh Kei dengan ekspresif. Kei tersenyum bahagia malam itu dan sangat menikmati penampilannya sendiri. Ia mengucapkan terima kasih, membungkukkan bahunya dengan hormat pada semua pengunjung yang hadir dan mengatakan betapa ia turut bergembira bisa melewati malam valentine bersama semua tamu. Ia juga memuji menu lezat dan suasana romantis yang diciptakan restoran fine-dining terkemuka di kawasan dago ini. Dan seantero ruangan bertepuk tangan kembali dengan riuh pertanda setuju.

Namun malam itu pun usai.

Kei memperhatikan sang pianist yang sepanjang malam menemaninya bernyanyi dengan perasaan lain dari biasanya. Vicky sedang sibuk memasukkan kembali stand keyboardnya ke dalam sebuah tas khusus yang tampak sudah kumal dan tak layak pakai. Wajahnya sedikit berkeringat dan ia tampak lelah. Namun jari jari kurusnya tetap cekatan merapikan kembali semua peralatan bermain musiknya. Vicky memutarkan wajahnya kearah Kei – tepat disaat Kei sedang menatapinya – dan memberi isyarat agar Kei memutarkan tubuhnya kebelakang. Dengan sedikit malu karena tertangkap basah memperhatikan Vicky, Kei pun melihat kearah belakang dirinya.

Ia mendapati sang manager restoran berjalan mendekati mereka berdua.

“Good Job, ya Kei… Semua orang disini tadi banyak yang memuji suaramu. Dan saya juga tidak menyangka kalau kamu juga pintar berinteraksi dengan para tamu. Pak Alex, manager restoran yang dimaksud, menjabat tangan Kei dengan bersemangat.

Kei pun menjabat tangan pak Alex kembali dengan wajah bersemu merah.
“Terima Kasih, Pak…”

“Hahaha… Panggil Alex aja, Kei. Ga enak didengarnya. Kita kan seumuran kalo ga salah. Aku juga masih kuliah kok. Resto ini kan hanya tempat aku magang.”

“Oh ya?!” Kei langsung kagum pada pria yang berdiri di depannya ini. Kei mengakui memamg kalau Pak Alex, eh…Alex, masih sangat muda. Dan tampan. Tubuhnya tinggi dan badannya sangat proporsional. Kulitnya pun putih bersih. Rambutnya sedikit gondrong menutupi alisnya yang sempurna. Dengan sweater rajut putih dan celana khaki beige, ia tampak elegan. Matanya yang membuat Kei sedikit kelimpungan untuk bertatapan. Warna coklat bola matanya sangat menggoda. Mungkin Alex seorang turunan indo. Tidak mungkin pria dengan kulit dan mata seperti itu adalah asli Indonesia. Ah, satu lagi, Kei bahkan tidak sanggup menghadapi sikap Alex yang sopan dan sangat menghormati wanita. Itu membuat diri Kei meleleh setiap menghadapi pria tinggi itu. Bahkan, Kei sangat memperhatikan gerak gerik Alex selama acara malam ini berlangsung. Ia berjalan dari satu meja ke meja yang lain, berbicara dengan para tamu. Merekomendasikan makanan terbaik di restoran ini, bahkan menanyakan kabar mereka semua. Kei bisa melihat tatapan kagum dari para tamu wanita, atau semburat kemerahan di wajah mereka semua atas sikap menawan Alex. Hmmm… Kei merasa beruntung memilih tampil di malam valentine di tempat ini. Padahal beberapa tawaran lain juga sangat menggiurkan. Namun sosok Alex lebih menarik perhatian Kei dibandingkan penawarannya sendiri.

Kei tersenyum sendiri dengan apa yang sempat ia bayangkan tentang Alex. Namun itu tidak berlangsung lama ketika ia mendengar suara godaan-godaan dari beberapa staf resto di arah pintu masuk. Penasaran, Kei pun menoleh ke arah pintu masuk.

Wanita yang masuk ke resto itu berbaju merah. Perawakannya mungil dan seksi. Ia tertawa manja atas godaan para staff resto yang bilang ,” Duh, Mbak Chika… Mau jemput si sayang yaaaa…. Cantik banget sih, Mbak. Mau lanjut valentinan berdua aja yaaa.”

Lagi-lagi wanita yang dipanggil Chika itu tertawa. Dan kali kedua itulah Kei bisa melihat wajah Chika yang cantik, seperti Siti Nurhaliza versi modern. Dengan belahan baju seperti itu, pria mana yang tidak bergetar hatinya?, pikir Kei, sedikit cemburu atas kelebihan Chika sebagai sesama wanita. Kei lebih terkejut lagi ketika Chika bergerak mendekati dia dan Alex.

“Hi, Sayang… happy Valentine yaaaa….” ujar Chika langsung memeluk Alex. Alex membalasnya dengan mesra dan mengecup bibir Chika kilat.

“Happy Valentine juga…” balas Alex.

“Maaf, aku terlambat datang. Pestaku sendiri padat juga acaranya. Disini gimana?” tanya Chika dengan manja.

Alex melepaskan pelukan Chika perlahan, dan menunjukkan pandangan matanya pada Kei yang tengah berdiri di depan mereka berdua dengan sangat tidak nyaman.

“Ah, hai… kamu si penyanyi itu ya?”tanya Chika sambil tersenyum. Tidak seperti lazimnya orang berkenalan dan saling berjabat tangan, Chika tetap bergelayut manja pada pinggang Alex dan hanya tersenyum kearah Kei.

Si Penyanyi itu…., hmm… sopan sekali wanita cantik dihadapanku ini, maki Kei dalam hati.

“…Ya.. Aku si penyanyi itu.” balas Kei, merasa tidak perlu memperkenalkan namanya, dengan keramahan yang dipaksakan sedikit.

“Namanya Kei, Chika…” protes Alex atas sikap Chika. Chika hanya mengerutkan bibirnya manja.

“Oh ya, Kei. Sekali lagi terima kasih atas penampilannya yang sangat menawan malam ini. Aku berharap kita bisa kerja bareng lagi di event yang lain ya,” Alex mengambil sebuah amplop kecil dari saku celananya, dan diberikan pada Kei. Kei mengambilnya dengan agak sungkan, dan mengucapkan terima kasih.

“Satu lagi. Tunggu.” Alex sedikit berlari kearah meja kasir dan mengambil sesuatu dari lacinya. Dia merobek beberapa lembar voucher fine dine dan diberikannya pada Kei.

“Ini…” Kei sedikit ragu menerimanya.

“Datanglah kesini untuk dinner, free of charge dengan voucher itu. Anytime. Bisa kamu pakai sendiri atau dengan pianist kamu. Terserah.”

“Terima kasih, pak Alex.”

“Alex, Kei.”

“Alex.” Kei mencoba tersenyum lebar ketika mengucapkan nama Alex. “Kalau begitu, aku pulang dulu ya.”

“Iya, hati-hati,” jawab Alex.

“Kalian naik apa?” tanya Chika sambil memperhatikan tas-tas besar yang sedang dibawa Vicky bolak-balik kearah luar resto.

Kei memperhatikan Vicky sesaat dan menarik nafas sedikit berat, “ehm, kami bawa mobil dan sudah ada crew yang menunggu kok diluar.”

“Parkirnya pasti jauh, ya. Soalnya padat banget tadi di luar resto ini,” timpal Alex.

“Ya, begitulah… Permisi.” pinta Kei sopan dan berbalik badan.

Kei berupaya berjalan seelok mungkin. Dengan gaun silk hijau yang dipakainya –walau ia yakini tidak sekelas gaun yang dipakai Chika tadi– ia mampu kok berjalan semenarik mungkin.

Kei berjalan seperti itu terus sampai di tempat Vicky meletakkan barang-barangnya di pinggir jalan depan gerbang resto.

“Kamu ngapain?”tanya Vicky memandang Kei dengan mimik aneh.

“Maksud kamu?” tanya Kei sensitif dengan cara Vicky bertanya.

“Jalan kayak gitu jam 12 malam dijalan yang sepi gini. Memangnya ada yang mau digaet?”

“Vicky!!” Kei memukul dada Vicky dengan sebal. Vicky hanya tertawa terbahak-bahak. Lalu kembali menatapi jalan Dago yang mulai sepi dengan lalu lalang kendaraan.

“Tumben kamu gak ganti baju dulu?” tanya Vicky sambil menyalakan rokoknya.

“Malas. Biarin aja.” jawab Kei ketus.

“Nanti masuk angin loh.”

“Gak.”

“Ya udah.”

Kei melipat tangannya di dada. Udara dingin malam di Bandung mulai menusuk tulang-tulangnya. Apalagi dengan gaun tanpa lengan yang dipakainya, membuat tubuh Kei sedikit bergidik. Namun ia gengsi untuk kembali kedalam resto dan berganti pakaian dengan kaus dan jeansnya yang kumal. Bagaimana nanti kalau bertemu Alex dan Chika? Pasangan itu benar-benar bisa membuat ia malu seumur-umur dengan penampilan dan cara mereka menaburkan kemesraan seperti tadi lagi.

“Alex sudah bayar kita kan?” tanya Vicky. Ia tampak sibuk dengan rokok dimulutnya, sementara tangan kanannya mengetik tombol-tombol di HP nya untuk mengirimkan sms.

“Udah.”

“Pas apa ada tips lebih?”

“Ga tau. Ga dihitung.” Kei semakin kedinginan dan gelisah. Berkali-kali ia melihat kearah pintu masuk restoran.

Vicky jadi ikut melihat kearah pintu masuk resto. Dan ia tersenyum kecil setelah sedikit merasakan kegelisahan yang terpancar di wajah Kei. “Hmm, kamu ditolak ya?” goda Vicky.

“Maksudmu?” mata Kei langsung melotot kearah Vicky.

“Ceweknya si Alex lebih sexi dan cantik! hahahaha….” Vicky tertawa sampai terbahak-bahak. “Sudahlah, Kei… Alex memang tiada duanya. Aku aja sebagai cowok mengakui dia ganteng. Tapi biasanya cowok kayak Alex hanya akan jatuh cinta dengan cewek kayak Chika.”

Kei hanya terdiam. Dia tidak setuju dengan kalimat ‘cowok kayak Alex hanya akan jatuh cinta dengan cewek kayak Chika’. Memangnya ada jenis-jenis manusia seperti itu? Sesaat kemudian dia menjawab dengan lirih. “Siapa juga yang suka sama Alex…”

“Iya, aku juga gak mau kalau kamu suka ama Alex,” balas Vicky. “Nanti aku harus cari penyanyi lagi kan susah. Kamu itu sangat menjual.”

“Menjual… kesannya deh!” Kei sebal dengan Vicky yang terus menggodanya. “Duh, mana nih si Dudi? Telat banget sih jemputnya. Aku naik taksi aja ah.”

“Itu dia…” jawab Vicky sambil menunjuk sebuah mobil bak terbuka berwarna putih dan tampak sangat kotor yang baru berbelok dari perempatan jalan di arah kanan mereka. Kei menarik nafas lega ketika mobil itu berhenti di depan mereka.

“Sorry, boss!! Telaaaaaaat….” teriak Dudi dari balik kaca jendela mobil yang terbuka setengah. Ia langsung membuka pintu dan berlari kecil kearah Vicky dan Kei. Dengan sigap Dudi mengangkat tas tas besar berisi keyboard dan standnya lalu ditaruh di bak terbuka mobil pick up tadi.

“Hei, Kei! Sukses tadi?” tanya Dudi lantang. Kei hanya mengangkat jempol jari kanannya dan tersenyum pada Dudi yang kembali mengangkat beberapa speaker berukuran sedang ke atas mobil. Kei lalu membuka pintu, mengangkat sedikit gaunnya agar bisa naik ke mobil dan duduk disebelah bangku driver. Ia sama sekali tidak membantu Vicky dan Dudi mengangkat beberapa barang lagi. Kei hanya mendengar mereka tertawa-tawa entah membicarakan hal apa.

Beberapa saat kemudian Vicky masuk dan duduk dibangku driver. Ia langsung menyalakan mesin mobil. Dengan heran Kei pun spontan melihat kearah belakang. Melalui kaca belakang ia bisa melihat Dudi sedang santainya duduk diatas speaker-speaker. Ia memperbaiki ikatan rambutnya yang gondrong dan mengelap mukanya dengan kaus hitam bergambar Rolling Stone yang dipakainya.

“Kenapa Dudi diluar?” tanya Kei heran. “Biasanya kan kita bertiga sempit-sempitan duduk didepan.”

“Aku yang suruh. Aku lagi ingin berdua sama kamu.” Vicky mulai menginjak kopling, memasukkan gigi satu dan menekan gas perlahan.

Kata-kata Vicky tadi tampaknya tidak banyak mempengaruhi Kei, karena ia baru saja melihat sedan Mazda merah yang sangat dikenalnya keluar dari halaman resto melalui kaca spion sebelah kiri. Sedan merah itu lalu masuk kejalan dan melewati mobil pick up yang dikendarai Vicky. Sontak Kei melihat ke kanan dan melihat dengan jelas pasangan alex dan Chika didalam mobil tersebut. Ada sedikit pergolakan didada Kei saat sedan Alex melewati mobil pick up yang dikendarainya. Kei sangat yakin bahwa Alex melihat ke kiri dan langsung memandangi diri Kei sejenak dari balik kaca bening jendelanya sebelum mobil sedannya melesat kencang. Dan itu sudah membuat Kei berdebar senang.

“Oh, God… Alex lagi?” Vicky sampai memukul jidatnya pelan. “Kamu mau aku salip mobilnya? Tapi kamu bantu dorong ya dari belakang.”

Kali ini Kei tertawa. Ia mencubit lengan Vicky dengan cubitan paling tipis dan menyakitkan karena gemas oleh kelakuannya dari tadi. Vicky meringis kesakitan.

“Oh ya, tadi kamu mau bilang apa?” tanya Kei.

“Bilang apa? Ga ada tuh. Oh, yang tadi aku bilang hanya mau berdua saja ama kamu? Ya memang hanya mau bilang itu saja. Memangnya kamu ngeharapin aku ngomong yang lebih ya? Hehehe…”

Kei tidak menanggapi candaan Vicky. Dia hanya menarik nafas panjang. Wajahnya berubah suram.

“Kamu kenapa…” Vicky sadar kan perubahan wajah Kei.

Kei hanya menggeleng. Tapi setelah itu ia mulai bersuara juga. “Kamu mau terus jadi musisi kayak gini ya, Cky…” suara Kei yang datar membuat Vicky agak sedikit bingung menafsirkan kalimat Kei sebagai pertanyaan atau pernyataan.

“Lah, aku bisa apa lagi selain jadi musisi? Aku hanya bisa memainkan piano, drum, sax, gitar, bass, bahkan tiup peluit pun bisa aku jadikan musik! Terus kamu mau aku jadi dokter?”

“Ya nggak…” Kei menjawab pelan sambil memperhatikan Vicky dari samping. Buat Kei, Vicky adalah seorang musisi yang sangat berbakat. Ia mampu memainkan hampir semua alat musik dengan mahir. Bahkan dikalangan para musisi kafe lokal di bandung, nama Vicky Januar sudah sangat dikenal. Ia mengajar ekstrakurikuler di sebuah SMA swasta terkemuka, dan tampil di beberapa kafe sebagai additional musician di banyak band yang membutuhkan tambahan personil saat dibutuhkan. Namun Vicky tidak bergabung dengan band-band itu atau memiliki band sendiri. Ia hanya suka tampil duet dengan penyanyi wanita sebagai seorang pianist dibandingkan tampil dengan band lengkap di sebuah kafe. Ia lebih memilih tempat-tempat elegan dan romantis untuk penampilannya. Kei hanya salah satu penyanyi yang bergabung dengan Vicky. Ia juga baru bergabung sekitar hampir empat bulan yang lalu, saat lolos audisi menjadi penyanyi pianist Vicky Januar. Kei suka menyanyi, bahkan suaranya sangat khas untuk didengar dan begitu menjual, itu istilah dari Vicky saat ia lolos audisi. Vicky juga tertarik menerima Kei karena alasan Kei menjadi penyanyi adalah untuk mencari tambahan pendapatan atas biaya kuliah Kei di semester terakhirnya ini.

“Jadi kamu mau aku jadi apa?” Vicky penasaran atas pertanyaan Kei tadi. Kali ini dia menyulut lagi batang rokok yang kedua. Asap langsung mengepul memasuki mobil. Ia pun mengibas-ngibaskan asap rokoknya keluar jendela yang terbuka setengah tadi.

Kei tidak terlalu terganggu dengan asap rokok Vicky. Ia malah kembali memperhatikan Vicky. “Maksud aku, kamu tidak ingin menjadi orang yang menikmati musik? Bukan sebagai pemain musiknya? Aku tadi memperhatikan semua tamu yang datang. Mereka datang secara berpasangan, berpakaian bagus dan cantik. Mereka mendengarkan musik kita dengan perasaan bahagia, menikmati setiap menu mahal yang disajikan dengan sangat antusias, saling bertatapan dan memegang tangan dengan sayang.”

Vicky tetap serius mendengarkan. Rokoknya tetap ada dimulutnya dan kedua tangannya memegang setir dengan santai dan mengendalikan mobil pick up mereka melewati langit malam yang cukup cerah.

“Aku selalu mengibur orang-orang di setiap event seperti Valentine, Malam Tahun Baru dan hari-hari lainnya. Terkadang, aku menatapi pola tingkah mereka dan rasanya ingin duduk bersama mereka. Atau malah bertukar peran. Aku ingin menjadi sang penikmat malam valentine dengan yang terkasih, menikmati musik romantis dari duet penyanyi dan pianist yang sangat berpengalaman, menikmati jamuan makan malam dan candle light dinner…”

Vicky menoleh kearah Kei dan mendapati gadis itu menatap sangat jauh dalam pikirannya. Ia menelan ludah sebentar karena merasa tenggorokannya sangat kering sebelum ia mampu membalas perkatan Kei. Ada satu alasan mengapa ia memebawa Kei ke tempat ini. Bukit Dago atas. Tempat dimana ia sering menyendiri, mencari inspirasi musiknya, bercumbu dengan kagalauan hidup, dan bahkan saat ia sering mengkhayalkan Kei sejak pertemuan pertama mereka.

“Kei…” panggil Vicky pelan.

“Ya?” Kei menjawab dengan tatapan masih menerawang jauh.

“Kita sudah sampai.”

“Haa?” Kei langsung celingak celinguk menatap ke luar mobil. Ia tidak diantarkan kerumahnya. Melainkan kesebuah daerah yang sudah sangat dikenalnya.

“Kok? Ini kan bukit Dago atas? Mau ngapain lagi kita..?” tanya Kei bingung.

“Sudahlah. Ikut saja.” Vicky mematikan mobil dan langsung membuka pintu. Ia keluar dan langsung merenggangkan tubuhnya dengan santai sambil menghirup udara malam.

Kei jadi sedikit ragu. Walaubagaimanapun ia baru empat bulan mengenal Vicky dan Dudi. Dan tiba-tiba saja tengah malam buta begini, ia diturunkan di sebuah bukit, begitu sepi dan tidak ada orang lain selain mereka bertiga. Dan Kei hanya satu-satunya yang gadis…

“Hei, keluar donk!” teriak Dudi mengagetkan dari samping kiri mobil. Dudi juga langsung membukakan pintu Kei. “Kayak orang ketakutan gitu sih? Tenang saja, ga ada makhluk aneh disini. Kan ada si Vicky tuh. Si penakluk Makhlus Halus.”

“Brengsek…” teriak vicky diujung sana.

Setelah berdoa dalam hati, Kei pun menurut keluar dari mobil. Kei merasakan angin malam yang sangat dingin, dan suara-suara jangkrik disekitarnya. Ditatapnya langit sesaat. Ada perasaan aneh melihat langit begitu cerah namun tanpa bintang. Tampaknya bulan sudah melakukan tugasnya dengan baik menerangi langit secerah ini tanpa pasukan bintang-bintangnya. Setelah puas dengan menatap langit, Kei pun berjalan mendekati Vicky yang sedang duduk menatapi turunan lembah didepannya. Ketika Kei datang, Vicky langsung menepuk-nepuk rumput disebelahnya, mengisyaratkan agar Kei duduk di sebelahnya.

“Indah ya, Kei…” sahut Vicky pelan sambil menunjuk kearah lembah dari puncak bukit tempat mereka berada sekarang. Kei menatap arah yang ditunjuk Vicky dengan pandangan takjub. Tanpa sadar ia langsung duduk dirumput bersama Vicky. Yang kini sedang dilihatnya adalah pemandangan seluruh kota Bandung di waktu malam. Kota yang tampak begitu jauh. Begitu luas. Semuanya terlihat begitu indah dengan lampu-lampu kota dan jalan yang tampak berkelap kelip dari jauh. Lampu-lampu tersebut bagai sebuah gerbong gerbong kereta api yang meliuk liuk tanpa ujung. Sungguh pemandangan yang tidak pernah dilihat Kei sebelumnya. Hati Kei bergetar.

“Kamu kedinginan ya, Kei..? Pakai kemejaku saja. Aku masih pakai kaos kok.”
Tanpa diminta Vicky melepaskan kemejanya dan diberikan pada Kei. Kei menerimanya kemeja flannel merah tersebut dan langsung dipakainya menutupi bahunya yang mulai terasa membeku.

“Bagimana? Sudah cukup romantiskah?”tanya Vicky pelan. Ia berkata hanya dengan menundukkan kepalanya tanpa memandangi Kei.


Kei menoleh kearah Vicky yang kini balas memandanginya. Ada pandangan teduh dimata Vicky. Kei mencoba mencari-cari arti dari tatapan teduh Vicky padanya. Menurut Kei, Vicky adalah sosok pria yang sangat romantis. Tatapan matanya teduh, dan Vicky selalu membawakan musiknya seolah-olah kehidupannya hanya ada disana. Ketika bermain piano, Kei selalu ingat bagaimana Vicky selalu memiliki kesempatan untuk mengibaskan rambut ikalnya sejenak disetiap perubahan nada, seakan-akan perubahan nada itu adalah perubahan emosi jiwanya. Saat bermain piano, Kei bisa merasakan bagaimana perasaan vicky itu mengalun sesuai dengan emosi yang dimainkan. Marah, sedih, dendam… He’s perfect. Musically perfect! Tetapi satu hal yang pasti, Kei juga merasakan rasa sepi dalam hidup Vicky. Kesepian yang begitu parah. Ia melihat Vicky sebagai sosok yang terluka akan sesuatu hal. Mungkin cinta. Mungkin ia pernah patah hati? Entahlah.

“Saat ini aku hanya bisa menawarkan suasana romantis kota Bandung padamu. Ini tempat favoritku buat merenung. Aku suka kesunyian yang disuguhkan. Aku suka musik alam yang ditawarkan pada malam hari. Disini. Tepat ditempat ini. Melihat keindahan dibawah sana, membuatku selalu berfikir betapa sebuah kesempurnaan itu nyata.”

“Bagaimana kamu tahu aku suka tempat yang seperti ini..?” tanya Kei bergetar.

“… Aku.. tidak tahu. Ini tempat favoritku. Aku membawamu kesini bukan karena aku tahu kamu suka tempat seperti ini. Bahkan aku sekarang lega mendengarnya kalau kamu juga suka.”

“Aku selalu memimpikan tempat ini. Aku selalu berkhayal bahwa nanti akan ada seorang pria yang melamarku dengan menyuguhkanku pemandangan sebuah kota di malam hari. Aku pasti akan menjawab ‘ya’ tanpa harus berfikir. Bagiku pemandangan kota di malam hari dengan lampu, bintang dan bulan adalah pemandangan paling romantis di dunia. Melebihi tempat romantis manapun juga. Hatiku pasti luluh lantak melihatnya…”

Vicky tertegun mendengar kata-kata Kei. Ia memperhatikan pemandangan di bawah bukit itu sekali lagi dengan seksama. Kei benar! Pemandangan kota di malam hari adalah pemandangan paling romantis di dunia ini. Kenapa dia tidak berfikir sebelumnya alasan dia selalu mendatangi tempat ini untuk merenung dan menciptakan musik-musik indahnya selama ini?, pikir Vicky. Otak dan pikirannya mulai terbawa suasana romantis yang ditawarkan. Ia kembali menatap Kei. Mendalami pikiran Kei. Merasakan helaian rambut panjang Kei yang jatuh berderai kepipinya karena tiupan angin. Vicky begitu menikmatinya sampai ia mendengar nyanyian suara fals dengan petikan gitar yang cukup bagus dari arah belakang mereka.

Sontak Kei dan vicky menoleh kebelakang, kearah yang punya suara fals dengan senandung lagu cinta dari Erick Martin, I love the way you love me, namun versi Dudi Martin-nya, yang masih tampak duduk santai di atas speaker di mobil pick up. Dengan tatapan mata menggoda dan senyum nakal kearah Kei dan Vicky, Dudi tetap memetikkan gitarnya dan melanjutkan nyanyiannya dengan percaya diri.

“Dasar brengsek…” maki Vicky pelan. “Lagi hot-hotnya nih pembicaraan malah diganggu orang sableng satu itu! Tahu gitu aku turunin aja tadi dia di pinggir jalan.”

Kei hanya bisa tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Vicky juga jadi ikut tertawa. Mereka berdua saling bertatapan. Dengan suasana seperti itu, mereka tidak bisa memungkiri perasaan aneh dan desiran bahagia yang mulai menggerogoti dada mereka.

“Kei…” Vicky menelan ludah,tampak sulit untuk melanjutkan kata-katanya.

“Ya…?” sambut Kei.

“Mungkin aku memang bukan pria yang seperti kamu khayalkan akan melamarmu di atas pemandangan kota itu. Bahkan aku tahu, aku bukan tipe pria yang kamu mimpikan selama ini. Aku… Aku hanyalah pria biasa. Sederhana. Seorang musisi. Bukan calon lulusan universitas seperti kamu nanti. Tapi, tampaknya musisi sederhana ini… yang sedang berjuang meniti hidupnya kembali… telah jatuh cinta padamu, Kei. Aku mau kamu jadi pacar aku.”

Kei terhenyak mendengarnya. Vicky tidak berani menatap Kei. Ia hanya menunggu jawaban dari Kei sambil memainkan rumput tinggi didekat kakinya. Namun ketika setelah beberapa saat Kei tidak juga menjawabnya, ia langsung menoleh kearah Kei.

Vicky mendapati Kei tengah menatap jauh kearah bukit dihadapan mereka. “Kei…” bisik Vicky lirih.

“Aku tidak tahu, Vicky…” jawab Kei sangat pelan seperti berbisik. Sesungguhnya ia telah banyak tahu dan merasakan bagaimana perasaan Vicky padanya. Namun Kei tidak pernah yakin akan apa yang sesungguhnya dia rasakan terhadap vicky. Vicky adalah pria yang baik, ia tahu hal itu. Namun menurut Kei, ada sesuatu dalam diri Vicky yang begitu tersembunyi, dan mungkin tidak siap untuk diterima Kei suatu hari nanti. Entahlah. Siapa Vicky sebenarnya? Kei tidak pernah tahu. Siapa keluarganya? Kenapa dia hidup sendiri, kenapa dia berhenti dari kuliahnya. Apa musik hanyalah satu-satunya yang ia inginkan dalam hidup?. Namun Kei juga tidak bisa menolak perasaan sukanya pada Vicky. Ia tampak begitu sedih saat pertama kali Kei mengenalnya. Namun kini, Kei bisa melihat betapa Vicky jauh lebih hidup. Vicky sering bercanda, sering tertawa, dan sangat peduli pada Kei. Dan Kei merasa, ia pun akan sanggup membahagiakan Vicky.

Melihat Kei tetap diam, Vicky mulai didera rasa ketakutan akan penolakan gadis disebelahnya ini.

“Kamu… kamu tidak pernah berfikir tentang aku? Apa.. kamu tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan selama ini…?” nada bicara Vicky mulai tersendat-sendat.

Kei menatap Vicky dalam-dalam. “Well…, dibanding Alex, kamu kurang putih, kurang tinggi, kurang sexi…”

“Keiiiiii…!!” Vicky menjambak rambutnya sendiri. Hatinya mulai terasa tidak keruan. “Please, Kei…”

“Hahahaha… Iya, Vicky. Kita coba ya…”

“Serius kamu, Kei!! Sungguh kan? Yang kamu bilang barusan??” Vicky mulai berapi-api menunggu jawaban Kei. Kei mengangguk.

Vicky langsung berdiri dan melompat setinggi-tingginya. Meneriakkan kata ‘Aaaaaaaaaaaaaaaaah’ yang panjang pada langit sekeras-kerasnya. Lega sudah rasa menganggu dihatinya selama ini. “Awas kalau kamu macam-macam ya, Kei. Apalagi kalau berani menyebut nama Alex lagi! Kamu tidak tahu betapa aku sangat mencintaimu.”

Kei lagi-lagi hanya tertawa. Vicky menarik tangan Kei untuk segera berdiri. Mereka berpegangan tangan dan saling menatap dengan waktu yang cukup lama. Melihat itu, Dudi langsung turun dari mobil pick up dan berlari mendatangi mereka berdua dengan semangat.

“Gimana boss? Jadi ngebeliin aku jagung bakar apa kita lempar Kei ke jurang dibawah?” tanya Dudi antusias.

“Hee??” Kei melototi Dudi dengan tatapan shock atas kata-kata yang didengernya barusan.

“Tadi waktu di depan resto sambil angkat-angkat barang, si Vicky bilang mau nyatain cinta sama kamu,Kei. Kalau diterima, aku dibeliin jagung bakar. Trus aku balas tanya donk, kalau ditolak? Eh, dia jawab ‘bantuin aku lempar Kei ke jurang aja!’ begitu katanya.” jawab Dudi sambil melirik Vicky yang memerah mukanya.

“Busyeeet!! itu kan canda, monyong! Aku sepanjang malam deg-degan merencanakan ini semua, eh si Dudi malah nanya kalau ditolak gimana. Kan bikin down…” Vicky membela diri. Tapi Kei terlanjur sebel dan melontarkan tinjunya kelengan Vicky berkali-kali sampai dia minta ampun.

Dudi hanya tertawa-tawa dan teriak, “Ayo cepetan masuk mobil. Dingin banget disini tau! Jangan lupa lewat tukang Jagung Bakar di pengkolan depan sana ya.”

Vicky hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menggandeng tangan Kei masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pemandangan paling romantis di dunia. Malam ini ia sangat bahagia.

* * *
End Part 1 – Sang Penikmat



et cetera