The Graffiti of Judith Diaz











{October 29, 2011}   And so it is…

Pagi ini aku merasakan tarikan nafasku sedikit berbeda dari biasanya. Pendek, menghentak dan cepat. Kepalaku terasa limbung. Tapi aku tetap berjalan sesantai mungkin. Kurasakan, sangat kurasakan, aliran darah mengalir diantara kedua pahaku. Namun tidak lagi kuhiraukan hal itu. Sudah terlalu lama dan begitu berkepanjangan. Hanya kini aku sadar bahwa tubuhku tidak lagi kuat menanggung egoku. Dengan sedikit kekuatan yang tersisa, aku bisa melakukan perjalanan dari rumah menuju rumah sakit pusat dengan menggunakan jasa taxi. Bahkan di tempat pendaftaran pun, aku tetap bisa tersenyum pada petugas antrian tiket yang bertanya ramah padaku ,”Mau bayar tunai,jaminan perusahaan atau asuransi, Mbak?”.

Aku sedikit bingung dengan pertanyaan petugas pria yang perawakannya jauh lebih kecil dariku ini. Padahal aku sudah tergolong mini buat ukuran perempuan. Beratku hanya 40 kg. Pikiran soal ukuran tubuh itu hanya menyelinap sesaat dan terlupakan kembali begitu aku melihat pada mesin tiket yang terdiri dari 3 warna tombol yang berbeda dengan keterangan masing-masing : tunai, jaminan perusahaan, dan asuransi. Oh, ternyata prosedur pembayaran yang berbeda pun dapat nomor antrian yang berbeda toh, pikirku.

“Ada pilihan buat ngutang, mas?”selorohku dan membuat si petugas tiket tertawa lebar. Sederet giginya yang rapi dan putih membuat ia tampak seperti model pasta gigi.

“Hahaha, mbak ada-ada aja… Saya juga senang kalau itu ada, Mbak.”

Aku tersenyum seadanya. “Jaminan perusahaan, Mas.”

Petugas tadi langsung menekan tombol berwarna oranye dan sebuah tiket dengan nomor 4028 muncul, lalu diberikan kepadaku. Kulihat diatas loket beberapa nomor antrian telah diproses, dan satu loket dengan nomor yang dekat dengan angka 4028 hanyalah 4022. Gosh, semoga aku bisa bertahan…

Mataku sudah tidak melihat dengan jelas saat aku mencari-cari kursi kosong diantara sederetan kursi yang telah diduduki di ruang tunggu ini. Begitu menemukan satu tempat duduk yang kosong, aku pun duduk secara perlahan. Rasa sakit dibawah perut yang tidak kumengerti penyebabnya ini sudah mulai terasa kembali. Kepalaku pusing. Tubuhku terasa panas. Bahkan tenggorokan ini rasanya kering karena harus menelan ludah terus menerus dan bernafas melalui mulut untuk menambah oksigen di paru-paruku. Sepertinya hanya sugesti saja bahwa dengan bernafas melalui mulut semua akan baik-baik saja, dan aku tidak akan kesulitan bernafas. Namun semua itu sia-sia. Aku masih merasa sesak.

Entah karena menahan sakit, aku sempat tidak sadarkan diri. Atau mungkin juga tertidur karena kelelahan yang amat sangat. Entahlah. Yang kutahu ketika mataku membuka, kulihat nomer di loket sudah berubah ke 4028. Bahkan petugas loket sudah menyerukan nomor tersebut melalui mikrofon, entah berapa kali.

“Ya, saya…” teriakku. Aku kaget, suaraku tidak keluar. Padahal aku berteriak tadi. Kupaksakan tubuhku bangun dari dudukku, dan dengan darah yang langsung terasa mengalir kembali, aku berjalan tertatih-tatih menuju loket yang tidak jauh didepanku.

Kuserahkan nomor antrian tadi pada wanita berjilbab putih yang tampak menungguku dengan sabar.

“Jaminan perusahaan mana, Mbak? Dan mau daftar ke dokter apa?”

“Saya mau daftar ke dokter kandungan, jaminan perusahaan Heal & Co.”

“Bisa saya lihat surat rujukan dari perusahaan, Mbak?”

“Saya.. tidak punya, Bu. Karena saya tadi ga ke kantor dan langsung menuju ke rumah sakit ini. Tapi… tapi Ibu bisa menelepon ke dokter perusahaan saya. Beliau sudah tahu saya mau check up…Ehm… Dan dia bilang akan segera mengirimkan fax guarantee letter ke rumah sakit ini… Namanya dokter Jaya…” aku mulai menjawab dengan kepanikan yang melanda dalam diriku. Bukan karena pertanyaan soal surat rujukan dari perusahaan, tapi lebih dari kondisi penglihatanku. Wanita berjilbab yang aku lihat tadi hanyalah sebuah figur putih yang tidak jelas dan kabur. Hatiku berkecamuk dan goyah.

“Oh, kalau begitu saya cek mesin fax dulu ya, Mbak. Mbak duduk saja dulu… Eh, Mbaaaaaak!!!”

Tiba-tiba aku mendengar wanita di depanku ini memanggil-manggilku dengan panik. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi sampai kudengar beberapa orang di sekitar berteriak-teriak soal bawa ke UGD, dimana kursi roda, rembesan darah di rokku, dan komentar lainnya. Kepalaku pun sepertinya terbentur ke lantai, karena kurasakan bunyi hempasan di kepala kiri dan rasa pusing yang tidak lagi sanggup kujelaskan. Apakah aku jatuh?, tanyaku dalam hati. Aku mulai merasakan mataku tertutup perlahan dan aku hanya bisa bergumam entah jelas atau tidak ,”aku tidak apa-apa…aku tidak apa-apa”.

*

“Kamu…?”

“Iya, aku…”

Begitu terbangun, aku langsung sadar dimana aku berada sekarang. Selang infus ditangan kanan, tirai biru di kiri dan kanan, suara orang batuk dan muntah dari sudut dimanapun itu, dan satu orang suster yang baru saja berjalan cepat dengan kereta dorong. UGD. Pasti UGD. Tapi aku jelas masih setengah bermimpi kalau tengah melihat pria ini disampingku.

Tangan kiriku spontan terangkat untuk mengucek mataku, namun terhalang oleh selang lain dihidungku.

“Itu selang oksigen. Kamu kesulitan bernafas katanya,” pria disampingku mencoba menerangkan apa yang ada dihidungku. Kulihat ia melihatku dengan tatapan khawatir atau mungkin perasaan kasihan saja bertemu kembali denganku dalam keadaan yang bisa kukatakan porak poranda.

“Kamu mau aku berikan minum? Atau kamu butuh yang lainnya? Apa kamu lapar? Aku bisa belikan roti,” pria itu masih saja terus berkata-kata.

“Oke,oke… kamu nyata…” ujarku pasrah dan lemah. “Apa yang membuat kamu bisa ada disini, sekarang, dan tepat dalam situasi ini setelah hampir… 2 tahun kita tidak bertemu?”, tanyaku terheran-heran sendiri. Sekilas kuperhatikan diri Daniel, sang pria yang kupikir ada dalam alam bawah sadarku. Ia tampak jauh lebih baik dibandingkan dua tahun yang lalu saat terakhir kali aku melihat dirinya. Badannya jauh lebih tegap dan terlihat gagah dengan kemeja kotak-kotak hitamnya. Aku merasa malu dan menyesal kenapa harus bertemu dengannya di saat ini.

“Kamu masih menyimpan ICE Card di dompetmu,” jawabnya pendek.

“ICE Card?” aku terhenyak. “Oh My God… Really?

Yes, you are keeping it. Ingat nomor siapa yang tertera di Ice Card kita masing-masing? Aku bahkan dikira suamimu saat sampai kesini setelah dihubungi oleh pihak rumah sakit.”

ICE card adalah kartu emergensi yang dikeluarkan oleh perusahaan lamaku untuk setiap stafnya. ICE adalah singkatan dari In Case of Emergency. Dikartu tersebut kami bebas menulis nomor siapa saja yang harus dihubungi dalam keadaan darurat. Aku tidak menyangka masih menyimpan Ice Card itu di dompetku setelah lama resign dari perusahaan tempat aku dan Daniel dulu bekerja bersama. Aku menuliskan nomor HP Daniel di Ice Card-ku, begitu pula ia menuliskan nomorku di kartunya. What a stupid mistake, makiku dalam hati.

Aku menarik nafas panjang. Terasa udara dingin dari selang oksigen yang menyejukkan masuk ke rongga hidungku. Dan aku menikmatinya sambil menutup mataku.

“Kamu pasti shock melihat keadaanku ya, Dan…” ujarku lirih.

“Ada kata-kata yang lebih parah daripada shock, ga?” Daniel mencoba bercanda. Namun aku hanya bisa memberikan senyuman sedikit. Dan ia melanjutkan, “Well, sejujurnya, aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat melihatmu. Farah yang aku kenal tidak seperti ini. Tuhan, kamu kurus sekali sekarang… Apa yang sedang terjadi sih, Farah?”

“Baru mau aku tanyakan. Apa dokter sempat bilang aku kenapa? Apa aku bisa masuk rumah sakit ini sekarang atau masih harus ada prosedur yang harus aku lakukan? Aku ingat kalau aku tidak mendaftarkan diriku dengan mulus tadi pada saat pendaftaran,” aku terkekeh sendiri. Daniel ikut tertawa.

“Ya, aku dengar cerita menggemparkan itu dari suster. But you are fine, Ayank…” Daniel tersedak sendiri dengan kata terakhir yang diucapkannya. Sudah terlalu lama dia tidak memanggilku dengan sebutan itu. Tapi aku hanya bisa tersenyum saja. Nyaman rasanya dipanggil dengan kata ‘Ayank’. Daniel mungkin tidak pernah tahu kalau selama menjalani tahun-tahun tanpa dirinya, aku lebih banyak dimaki ‘pergilah!’ atau ‘lo ngerti gak sih?’ bahkan ‘dasar perempuan’ daripada dipanggil dengan kata ‘Ayank’. Dan begitu barusan Daniel menyebutkan kata sayang tersebut, jujur hatiku serasa tersiram air yang sangat menyejukkan hati.

“Tampaknya perusahaan kamu juga sudah mengurusimu dengan sangat baik. Tadi aku khawatir kamu tidak dikenali di rumah sakit ini dan terbengkalai. Karena itu mereka meneleponku ketika melihat Ice Card di dompetmu. Tetapi ternyata semuanya sudah diatur. Kamu akan segera pindah dari UGD, mereka sedang menyiapkan kamar untukmu,” lanjut Daniel.

“Jadi pihak kantorku sudah tahu ya…” kalimat yang kuucapkan membuat pikiranku menerawang jauh. Membayangkan reaksi orang-orang dikantorku. Para staf dan managerku. Juga Vivi, sahabatku. Vivi pasti akan langsung memberi tahu laki-laki yang sedang membuat hatiku galau ini. Aku langsung membayangkan bagaimana reaksi Kevin menerima kabar ini. Pasti dia akan tersenyum penuh kemenangan.

“Terus, aku kenapa?” tanyaku mencoba menepiskan bayangan menyakitkan tadi.

Kulihat Daniel langsung berfikir mau menjawab apa. Kebiasaan menggerakkan bola matanya kearah kiri berulang-ulang saat berfikir masih kukenali disana.

“Kamu pendarahan. Aku ga tau penyebabnya apa. Aku panggil dokternya ya,” Daniel langsung beranjak dari sampingku.

“Daniel…” panggilku cepat. Spontan.

“Ya?” ia kembali berbalik.

“Apa kamu akan menemaniku disini sekarang? Kamu tahu aku tidak punya keluarga di Jakarta.”

Daniel terdiam. “Sepertinya tidak, Farah. Maaf… Aku harus kembali pulang.”

“Tapi…kamu mau menjengukku besok atau lusa kan?” tanyaku lagi. Kali ini dengan nada yang terdengar memelas.

Kini Daniel berbalik mendekati diriku lagi. “Kamu benar-benar memilih saat yang salah untuk bertemu denganku, Ayank…”

“Maksudmu…?”

“Aku akan menikah. Besok, hari sabtu. Sungguh, demi Tuhan. Aku ga bohong. Aku tidak memberi tahumu, atau mengirimkan undangan kepadamu, karena… Damned! Where have you been this whole time after you left our company?? Aku bahkan tidak tahu ini signal apa yang mencoba memberitahuku bahwa satu hari sebelum pernikahanku, aku akan dihubungi sebuah rumah sakit mengatakan betapa buruknya keadaan dirimu. Dan ini semua karena sebuah kartu di dompetmu yang seharusnya tidak kamu simpan lagi.”

Daniel berhenti sesaat, dan memperhatikan diriku dari ujung kepala sampai kaki. Ia melihatku dengan mimik yang begitu miris seakan-akan aku benar-benar sangat menyedihkan di matanya. Hatiku teriris melihat tatapannya padaku.

“Satu lagi… bukan aku tidak mau menjengukmu. Tapi aku harus langsung pergi ke Bangkok hari minggunya. Untuk… honeymoon,” suara Daniel terdengar lebih berat saat mengatakan kalimat barusan. Ia tampak sungkan mengatakannya padaku.

Aku menutup mataku mencoba menghibur diriku. Apa yang sedang kulakukan tadi? I am so pathetic! Bertemu Daniel memberiku sedikit harapan atas apapun yang terjadi pada diriku. Dan itu sangatlah bodoh, mengingat aku lah yang meninggalkannya dulu dengan sejuta perasaan bersalah. Dan sekarang aku menginginkan perasaan ingin dihibur atau dilindungi olehnya, atau apalah itu, yang kini mendera emosiku yang sangat labil.

Tiba-tiba kurasakan sebuah kecupan didahiku. “Apapun yang telah terjadi pada kita, aku tidak pernah mengharapkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini. Cepat sembuh, Ayank… Aku panggil dokter dulu ya.”

Aku membuka mataku dan hanya mengangguk lemah saat Daniel meninggalkanku. Beberapa saat kemudian, seorang dokter pria dan satu perawat wanita dengan berbagai kertas catatan di tangannya, datang bersama Daniel.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya dokter itu langsung memegang keningku dan menyentuh nadi ditanganku.

“Berantakan. Apalagi setelah tahu pria ini menikah dengan orang lain besok, Dok,” jawabku sambil memberikan senyumanku paling manis untuk Daniel. Semuanya tertawa. Termasuk Daniel, dengan tatapannya yang ternyata sangat kurindukan ini.

“Anda masih bisa bercanda,”kata si dokter. “Berarti anda akan baik-baik saja. Atau memang karena pengaruh obat dari infusmu itu sudah sangat baik kerjanya, jadi kamu tidak merasakan sakit kali ya,” gantian Dokter itu mengajak bercanda. Tapi itu tidak terdengar lucu. Jadi aku dan Daniel hanya tersenyum menghormati si dokter.

“Untuk sekarang, kami akan pindahkan … Farah..,” dokter tadi mencoba mengingat namaku dan berbicara pada Daniel, “…ke kamar di kelas internist. Dokter spesialis akan segera datang dan mengecek kondisinya dengan lebih detail. Beliau juga akan menjelaskan kemungkinan penyakit apa yang diderita Farah. Sekarang ini kami hanya memberikan pengobatan sementara untuk pendarahan yang dialaminya dan mengatasi demam yang tinggi.”

Daniel hanya mengangguk-angguk. Aku tahu dia bingung harus mengatakan apa pada dokter tadi karena ia sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Namun menurutku, aktingnya cukup bagus dan memukau. Atau aku memang masih terpukau saja dengan kehadirannya yang tidak disangka ini.

Daniel meninggalkanku saat aku dibawa pergi seorang perawat ke kelas internist alias penyakit dalam. Kami bertatapan cukup lama tanpa bisa mengartikan apa-apa. Mungkin Daniel benar, ada signal apa yang membuat kami bertemu hari ini? Disatu hari sebelum hari pernikahannya, dan di hari yang merupakan puncak kekacauan dalam hidupku. Ah, Daniel… Congratulations, aku bahagia untukmu.

*

And so it is
Just like you said it would be
Life goes easy on me
Most of the time
And so it is
The shorter story
No love, no glory
No hero in her sky

I can’t take my eyes off of you
I can’t take my eyes…

Aku mencoba untuk tetap waras. Sudah cukup dengan kegilaan yang aku alami dalam hidupku akhir-akhir ini. Jangan ditambah dengan yang satu ini. Lagu Blower’s daughter-nya Damien Rice terngiang-ngiang ditelingaku. Otakku bahkan tidak bisa memberitahuku apakah ini nyata dan bisa dihentikan atau tidak. Atau ini memang akan tersimpan selalu dalam memori otakku, mengingat lagu ini sudah berbulan-bulan menemani kesedihan hatiku sampai aku tidak memerlukan I-phone ku lagi untuk mendengarkannya? Ini gila! Bagaimana bisa lagu ini tertancap diotakku begitu saja? Apa karena benturan dikepalaku? Tolong aku, hentikan ini semua. Lagu ini sangat menyakitkan. Nada, lirik, desahan sang penyanyi… hentikaaaaan!

Aku membuka mataku dan merasa nafasku terhentak-hentak cepat seperti biasa. Namun kali ini kulepaskan selang oksigenku, hanya untuk menjauhkan benda itu dari wajahku sebentar saja sebelum aku membutuhkannya lagi. Kukosongkan pikiranku dengan mengambil nafas panjang. Kepalaku terasa berat dan pusing. Lagu itu tak terdengar lagi. Mimik Damien Rice yang sangat menyentuh hati dalam video klip blower’s daughter pun mulai meredup dalam ingatanku. Kini aku baru merasakan sekujur tubuhku basah. Pakaian biru pasien yang terbuat dari katun yang diberikan rumah sakit ini sedemikian tipis dan nyamannya, namun tak bisa membendung limpahan keringat dinginku. Aku menekan tombol panggilan kepada perawat yang tergantung disebelah tempat tidurku. Lampu merah kecil di langit-langit kamar tepat diatas kepalaku menyala, tanda para perawat merespon panggilanku dan akan segera datang.

Aku didiagnosis apa tadi? eh, Atau kemarin? Aku sampai lupa hari. Ruangan kelas 1 ini begitu tertutup, bersih, nyaman, dan… sepi. Aku tidak mendengar suara apapun dari luar. Apakah aku hanya sendirian di lantai ini? Badanku bergetar. Mungkin tubuhku kedinginan karena bajuku yang basah kuyup akan keringat.

Perdarahan uterus disfungsional.

Ya, itu dia.

Dokter Ahmad, —yang tidak akan pernah bisa kukenali wajahnya karena tidak pernah melepaskan masker— itu bilang begitu. Pendarahan yang bukan disebabkan kelainan organik alat reproduksi seperti mioma uteri atau kista pada ovarium. Aku memang sudah mengalami pendarahan cukup lama, hampir 1.5 bulan lamanya! Aku pikir itu haid yang tidak mau berhenti karena aku sedang stress saja. Ternyata tidak sesederhana itu. Seandainya aku tahu apa yang terjadi, kejadian di rumah sakit kemarin mungkin bisa dicegah.

Ketika ditanya apa yang menjadi penyebab ini semua, Dokter Ahmad berkata bahwa ini bisa diduga akibat gangguan di sentral atau disregulasi akibat adanya gangguan psikis, selain juga harus dipastikan dulu dengan adanya ovulasi dengan suhu basal badan, sitologi vagina atau analisis hormonal. Aku tidak tahu arti semua itu. Buatku hanya satu, gangguan psikis. Itu pasti yang sedang terjadi dalam tubuhku. Aku tahu benar apa yang sesungguhnya terjadi.

Saat ini yang mereka lakukan padaku adalah dengan pengobatan untuk menghentikan pendarahan, sehingga nantinya menstruasiku akan kembali normal seperti biasa. Namun yang paling mengejutkan adalah kadar haemoglobinku hanya 6.3 dari normalnya yaitu 12-14. Aku telah kehilangan banyak darah. Dan itulah yang membuatku tidak berdaya selama seminggu terakhir ini. Aku bahkan tidak bisa berdiri sendiri, selalu pusing, dan sesak nafas. Dan keputusan untuk melakukan transfusi darah akhirnya menjadi suatu keharusan bagiku. God, dalam mimpi pun tak pernah aku bayangkan akan hidup dengan darah orang lain ditubuhku. Aku mungkin tidak akan mengenal siapa orang yang memberikan darahnya untukku, apa aktivitasnya, bagaimana rupanya atau kehidupannya. Namun siapapun itu, akankah menjadi saudara sedarah bukan kandung denganku? Pikiran akan memiliki saudara sedarah bukan kandung mulai meracuni otakku. Bisa wanita karir, anak kuliahan, atau.. preman pasar. Aku bergidik. Entah darimana pula aku dapatkan kata ‘saudara sedarah bukan kandung” ini.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya perawat yang entah bagaimana sudah ada disamping tempat tidurku.

“Ya, sus… Aku minta baju ganti. Basah semua karena keringat.”

“Baik. Sekalian saja saya ganti spreinya ya. Anda mau di lap sekarang?” Perawat ini sangat manis dan cekatan. Ia langsung mengambil baju ganti khusus pasien yang ternyata ada didalam lemari di pojok ruangan. Beberapa handuk putih kecil juga dibawanya dari dalam lemari. Ketika berada dekat denganku, barulah bisa kubaca name tag yang tertera di dada kirinya. ‘Dian’.

“Sudah waktunya untuk di lap ya? Memangnya sekarang jam berapa, suster Dian? Apa saya masih belum bisa mandi sendiri ya?”

“Sudah jam 4 sore. Mbak tertidur dari selesai makan siang tadi. Kondisi mbak juga masih sangat lemah. Tidak mungkin bisa bergerak ke kamar mandi sendiri. Bisa-bisa nanti jatuh lagi. Tunggu saya ambilkan air hangatnya dulu ya.”

Aku tidak membantah karena aku pun merasakan hal yang sama. Aku merasa sangat lemah. Namun yang lebih kurasakan adalah hatiku yang sangat lemah karena patah, dan lenyap begitu saja. Ada yang hilang. Kosong.

Suster Dian kembali datang dengan kereta beroda yang membawa dua baskom air hangat. Dia lalu memulai dengan mengelap bagian muka dan telingaku dengan usapan yang sangat lembut, lalu perlahan melepaskan bajuku melalui selang infus ditangan kananku, lalu mengelap seluruh tubuhku. Dia juga menyabuni tubuhku dengan sedikit sabun dan spons, membuat aku merasakan sedikit kenyamanan dalam kepenatan tubuhku.

“Terima kasih, ya Sus. Nyaman rasanya,” ucapku begitu acara pengelapan selesai dan suster Dian mulai memeras handuk-handuk kecil bekas dipakai tadi. “Lalu, kapan aku mulai ditransfusi ya, Sus? Apakah malam ini?”

Suster Dian melihat catatan medis yang tergantung diujung tempat tidurku. Berulang-ulang dia membuka lembaran-lembaran kertas disana. Dahinya sedikit mengernyit.

“Saya tidak tahu, Mbak. Sepertinya mereka masih mencari darah yang sesuai di bank darah rumah sakit dan PMI.”

“Darahku B kan? Apakah tidak banyak orang yang memiliki darah B?”

“Banyak. Tapi tidak dengan rhesus negatif,” jawab suster Dian pelan.

“Apa? Golongan darahku adalah B dengan rhesus negatif?” kepanikan mulai melandaku.

“Barangkali bank darah disini atau PMI sudah memilikinya, Mbak. Nanti saya cek. Tapi yang dibutuhkan Mbak saat ini cukup banyak karena HB mbak sangat rendah. Sekantong darah, 250 cc diperkirakan dapat menaikkan kadar hemoglobin hanya 0,75 gr%. Ini berarti, jika kadar HB ingin dinaikkan menjadi 10 maka kira-kira perlu sekitar 4-5 kantong darah. Dan satu orang pendonor hanya bisa memberikan 250 cc.”

Aku mulai pusing mendengarnya.

“Mbak jangan banyak pikiran dulu. Kami pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menolong. Mungkin Mbak harus secepatnya menghubungi keluarga, Mbak? Kemungkinan keluarga Mbak pasti memiliki golongan yang sama. Saya lihat dari kemarin mbak tidak ditemani siapa-siapa. Atau mungkin teman mbak juga bisa membantu.” Suster Dian pun langsung berpamitan dengan mendorong kembali kereta yang memiliki baskom air tadi.

Keluarga, jelas tidak… Mereka tinggal berbeda pulau denganku. Dan, aku tidak mau menakuti mereka dengan kondisiku menjadi seperti ini. Sementara teman…

Aku mencoba menggapai BB ku diatas meja samping tempat tidur dan berhasil. Kulihat sudah ada 18 messages disana. Sebelas orang bertanya soal kondisi, dimulai dari manager, anak buah, dan teman-teman di department lain. Sementara sisanya hanya broadcast cerita-cerita lucu. Kukabari semua orang yang berkepentingan untuk mengetahui kondisi yang terjadi pada diriku, namun tidak untuk keluargaku. Aku belum siap untuk memberi tahu apapun juga pada mereka. Apapun yang terjadi padaku sekarang mungkin hanya membuat mereka shock dalam hitungan menit, selanjutnya mereka hanya akan bertanya bagaimana kondisi Kevin.

Kevin…
Kevin…
Aku kangen padamu… Apa yang sedang terjadi pada kita?

Bayangan akan Kevin kembali lagi di depan mataku. Tembok putih bersih rumah sakit didepanku serasa berubah menjadi layar sebuah LCD yang memutarkan semua adegan kehidupanku bersama Kevin selama hampir 3 tahun. Begitu detail, intense, sempurna dan menggetarkan perasaan… namun berakhir dengan sangat menyakitkan. Tunanganku itu telah berubah menjadi sosok yang sangat misterius, pendiam dan terlihat sangat ingin menjauhi diriku. Satu tahun aku memadu kasih dengan Kevin secara diam-diam saat aku masih bersama Daniel, dan akhirnya yakin bahwa dialah pria yang ingin kuhabiskan hidupku bersamanya. Dengan keberanian penuh dan mungkin juga ketegaan yang sampai sekarang tidak kuketahui darimana asalnya, aku mengungkapkan semuanya pada Daniel. Daniel jelas remuk redam, tapi keluargaku lebih sakit hati akan perlakuanku yang menurut mereka memalukan seluruh keluarga. Daniel sudah dianggap anak sendiri buat keluargaku. Orang tuanya adalah teman dekat papa dan mamaku, dan Daniel sendiri sudah menjadi temanku sejak kecil.

Perpisahanku dengan Daniel memang menimbulkan luka. Namun semua itu sembuh ketika akhirnya Kevin membuktikan bahwa dia adalah kekasih yang serius dengan mengajakku bertunangan. Pertunangan kami di kota kelahiranku, Bangka, dihadiri kedua keluarga dan merupakan pesta pertunangan yang terbilang mewah. Namun hanya selang beberapa bulan setelah kami kembali ke Jakarta untuk bekerja, Kevin menunjukkan perubahan sikap yang sangat drastis. Dia tidak mengasihiku seperti seorang Kevin yang selama ini sangat kucintai. Dan itu terjadi hanya karena seorang klien wanita diperusahaannya bekerja berhasil merebut hatinya! Dengan lihai Kevin mulai menjauhiku dengan strategi kesibukannya, mulai berkata kasar, dan terakhir terang-terangan menunjukkan ketidaksudiannya bersamaku lagi. Lalu ketika aku mendesaknya dan bertanya tentang alasan atas sikapnya, dengan jantan dia menunjukkan photo wanita itu dan dirinya, dan bilang bahwa ia telah jatuh cinta pada wanita itu sejak dari pertemuan pertama mereka! Kevin memutuskan pertunangan kami secara sepihak dengan frontal dan tidak punya perasaan. Bahkan ketika aku memohon-mohon cinta padanya, dengan menjatuhkan harga diriku, ia dengan santainya mengeluarkan begitu banyak kata makian agar aku segera menjauh darinya.

“Aku tidak mencintaimu lagi, Farah.”
“Aku terlambat menyadarkan diriku sendiri bahwa pertunangan ini terlalu cepat sebelum aku sendiri tahu perasaan terdalamku padamu, yang sebenarnya sangat ragu atas hubungan ini.”
“Lupakan aku lah Farah!”
“Pergilah!! Kenapa sulit bagimu untuk pergi dariku? Dulu kan kau begitu gampangnya berpaling dari Daniel! Lakukan hal yang sama donk!”
“Dasar perempuan! Hanya bisa cengeng dan merengek!”
“Farah, dengarkan aku, Farah! Kamu tidak bisa memaksa aku untuk mencintai kamu lagi, karena aku tidak bisa mencintai dua wanita!! Please, jangan temui aku lagi. Ini yang terbaik buat kita berdua. Susan sudah menjadi pilihan terbaikku.”
“Tidakkah kamu sadar kalau ini semua terjadi karena memang kita tidak berjodoh? Sesederhana itu, Farah. Seharusnya kamu bisa mengerti bahwa tidak semua rencana bisa menjadi kenyataan. Kamu harus bisa menghadapi ini.”
“Aku sungguh minta maaf dan mengakui itu kesalahan aku. Puas?! Sekarang, bisakah kau tinggalkan aku? Aku ingin hidup tenang.”

Tidak! Tidak! Tidak!
Batinku menjerit. Tanganku menggenggam ujung tempat tidur dengan kekuatan luar biasa sampai kuku-kuku jariku memutih. Air mataku lagi lagi jatuh berderai untuk beratus-ratus kalinya. Ritual seperti ini sudah menjadi kebiasaan wajib yang aku lakukan setiap malam untuk menghilangkan rasa sakit dihatiku, bahkan disekujur tubuhku dan membantuku untuk bisa tertidur akibat kelelahan. Namun kali ini tidak kuhabiskan dikamar pribadiku yang nyaman, malah berakhir disebuah rumah sakit dengan segala beban yang kupikul selama ini. Tampaknya tubuhku sudah mulai melakukan perlawanan atas prilaku emosional yang tidak lazim dilakukan begitu lama. Penyakitku ini pasti karena tubuhku sudah tidak kuat meredam segala penderitaan cintaku pada Kevin.

And so it is
Just like you said it should be
We’ll both forget the breeze
Most of the time

I can’t take my eyes off of you
I can’t take my eyes off you…

Kali ini kubiarkan lagu yang sangat menyayat hati itu kembali terngiang-ngiang di otakku.

*

“Aku ga apa-apa, Vi…”
“Bohong!”suara diseberang sana menahan isak. “Kamu sih patah hatinya keterlaluan! Jadinya begini deh…”
“Hahahaha… Ada ya yang patah hatinya keterlaluan sampai berdarah-darah..”
“Jangan bercanda mulu donk, Farah. Kondisi kamu itu mengkhawatirkan tau!”
“Ga kok, Vi.. Kata dokterku hal ini ga akan mengancam jiwa. Hanya akan membuat kualitas hidup berkurang saja. Cape sedikit, pingsan. Mau berolah raga, ga kuat. Kalau ngomong terus, malah sesak nafas. Kan jadinya hidupku tidak berkualitas…”
“Tuh kan… ngeri. Mana darah kamu belum ditemukan lagi. Aku ampe masukin ke Blood for Life loh. Tapi masih sedikit yang merespon,” suara Vivi makin sedih.
“Busyet, aku udah kayak vampire aja nih. Tambah ga ada yang cinta donk sama aku. Mana ada cowok yang mau liat cewek pasang tato ditangan dengan tulisan ‘Need your blood’ kan?” aku memindahkan BB ku dari telinga kanan ke kiri karena mulai terasa panas. Vivi malah terdengar cekikikan disana. Mood anak itu memang suka berubah-ubah. Tadi menangis sekarang cekikikan.
“Kasih tahu keluargamu aja kenapa sih, Farah? Kan lebih gampang.”
“Jangan nambah beban deh, Vi. Tidak untuk saat ini.”
Vivi dan aku langsung terdiam sesaat. Ia tampaknya tidak mau berdebat banyak denganku soal itu.

Kepalaku mulai agak pusing ketika aku berusaha bangun untuk duduk. Aku mengerang.
“Farah, kenapa? Sakit lagi ya perutnya?” Vivi mulai cemas.
“Ga, udah cepetan cariin darah buat aku. Aku dah pengen keluar nih dari sini..”
“Iya sabar. Aku nanti sore bisa menjenguk sama semua teman-teman di kantor nih. Siap siap aja dikasih ceramah yang panjang lebar ya…”
“Siaaaaaaap!” sambutku dengan antusias. Aku tidak ingin menunjukkan pada Vivi bahwa kepalaku pusing luar biasa.
“Kamu sendirian aja ya disana? Kasihan kamu, Farah. Dia sudah menjenguk?”
“Dia siapa…?” aku pura-pura tidak tahu, padahal jelas-jelas aku memikirkannya.
“Padahal aku sudah memberi tahu dia loh…” Vivi tidak peduli dengan jawabanku ternyata.”Kevin itu memang brengsek! gila! Gak punya perasaan! Pergi saja sana sama cewek sableng itu!”
“Aduh, aduh… jangan teriak teriak donk… tambah pusing dengarnya,”kali ini aku jujur.
“Tapi kalau nanti Kevin pergi beneran, kamu sakitnya tambah parah…Huaaaa gimana donk.. Kamu lupain dia saja dong, Far..” Vivi kembali terisak-isak.
Aku tidak menjawab. Hanya bisa terdiam. Kata-kata Vivi itu merobek-robek jantungku. Kalau Kevin pergi…? Tapi dia memang telah pergi… Itulah kenapa aku ada disini!
“Vi…”
“Ya?”
“Sudah dulu ya… Aku dijadawalkan menemui dokter kandungan sekarang. Mau di USG.”
“Oh… iya..iya. Baik-baik ya Farah. Jangan sakit donk. Cepat sembuh yaaaa. Nanti sore aku datang. Pasti. Janji!”
“Iya, iya.”

*

Aku dibawa dengan kursi roda oleh seorang suster setelah sebelumnya dipakaikan sebuah jaket biru panjang seperti bathrobe, namun dengan bahan lebih tipis. Kuperhatikan keadaan diriku sendiri di hampir semua tembok kaca maupun cermin yang ada di hall panjang lantai 2 menuju ke tempat dokter kandungan. Aku sendiri tidak pernah membayangkan keadaanku seperti ini. Duduk dikursi roda dengan baju pesakitan, selang infus menjuntai-juntai, mata sayu dengan lingkaran gelap dibawah mata yang sangat dominan, wajah tirus dan tubuh yang sangat kecil. Posisi dudukku saja tidak bisa tegak sempurna, seperti terbanting ke kanan dan ke kiri, karena rasa pusing dan berat di kepala yang tengah kuderita. Aku benci melihatnya. Sangat benci. Pantas Kevin tidak lagi mencintaiku. Aku tidak bisa dibandingkan dengan kekasih barunya yang sangat cantik dan jelas… sangat sehat. Aku mengibaskan pandangan semuku akan sosok Susan Karina. Damned, I hate her like hell!

“Tunggu disini ya, Mbak…” Suster yang membawaku berhenti disebuah pintu kaca transparan, dan menyetel rem pada roda kursi yang kududuki. Dia masuk dan berbicara pada seseorang di dalam ruangan. Kuperhatikan kanan kiriku, beberapa orang sedang menunggu giliran mereka untuk dipanggil. Namun hanya aku yang menggunakan pakaian pasien ini. Hampir semua yang duduk adalah wanita yang sedang hamil. Ada yang ditemani suaminya, ada yang duduk sendiri dan bahkan ada yang sedang sibuk mengurusi dua balitanya, sementara ia sendiri tengah hamil besar. Mereka semua tidak kelihatan sakit. Wajah mereka sangat bahagia dan sumringah. Tentu saja mereka tidak kelihatan sakit, Farah. Mereka semua hamil! Hanya kamu sendiri saja yang sakit diruangan ini, aku bicara pada diriku sendiri.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara pintu terbuka. Kupikir susterku kembali dan akan membawaku masuk, tetapi ternyata seorang pasien wanita separuh baya keluar dari ruangan tersebut diantar dengan seorang suster lainnya. Ia terlihat sama denganku. Memakai jas pasien berwarna biru, selang infus ditangannya, terlihat ringkih dan … sangat cantik! Wow, untuk wanita seumur dirinya, dia benar-benar cantik. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang bergelombang coklat keemasan, matanya indah dan senyumnya sangat manis. Senyum? Ya, wanita itu benar-benar tersenyum ketika melewati diriku. Matanya menatap tajam kearah mataku langsung dan tersenyum. Aku membalasnya dengan kikuk sampai memperhatikan ia dibawa suster dan hilang dari pandangan.

Di waktu yang sama, susterku kembali dan membawaku masuk keruangan untuk menemui dokter kandungan dan pemeriksaan USG.

*

Kali ini aku mendapat kabar yang cukup melegakan. Penyakitku bisa disembuhkan dengan pengobatan, asal aku tetap menjaga kondisi tubuhku dengan baik juga. Sementara untuk satu masalah dari HB ku yang sangat rendah itu, sudah ada beberapa pendonor yang datang dan bersedia dicek apakah mereka ber rhesus negatif atau tidak. Menurut suster Dian, hanya dua orang yang sesuai dan telah mendonorkan darahnya di PMI rujukan rumah sakit ini. Prosesnya akan menghabiskan waktu selama 12 jam sampai darah itu siap di transfusikan ketubuhku. Itu berarti tepat jam 2 pagi nanti aku sudah bisa ditransfusi. Proses transfusi akan selesai diberikan padaku dalam waktu 6 – 8 jam. Berarti jam 10 pagi esok baru akan selesai. Aku juga diminta untuk menandatangani surat pernyataan setuju pemberian transfusi dan mengerti akan resiko-resiko pada tindakan transfusi. Pernyataan itu sempat membuat dahiku berkenyit sesaat, namun tetap saja kutanda tangani dengan saksi Vivi.

Hatiku benar-benar tidak keruan menanti jam 2 pagi. Membayangkan ada darah orang lain dalam tubuhku. Tuhan, aku benar-benar harus berterima kasih pada siapa pun mereka itu.

“Mbak… bangun…”seorang suster membangunkanku dengan lembut.
Aku membuka mataku perlahan, masih merasakan sedikit pusing.

“Kita transfusi sekarang ya?” suster kedua pun berkata.

Aku hanya mengangguk pasrah. Mereka menggantung sebuah kantung infus berisi darah yang membuatku sedikit mual untuk melihatnya. Warna darah itu begitu pekat dan kental. Tampak sangat mencekam untuk aku yang tidak biasa melihatnya. Selang infusku pun digantikan dengan selang untuk transfusi darah.

Mataku melotot mengikuti aliran darah yang dalam hitungan detik memasuki tubuhku. Kedua suster itu tersenyum melihat tingkahku. Namun aku tidak peduli. Kuikuti terus darah tersebut mengalir turun sampai akhirnya masuk kepembuluh darah di tangan kananku.

“Sus, kok sakit ya… Tadi di infus saja ga sakit kok. Apa jarumnya bergeser?” rintihku pelan.

“Nggak, mbak. Memang akan terasa lebih sakit karena darah lebih kental dibandingkan cairan infus,” jawab suster pertama sambil menggerak-gerakkan roda putaran aliran darah. “Saya akan lebih memperlambat lajunya darah ya.”

Aku lalu menutup mataku, menahan rasa denyut-denyutan ditanganku. Denyut itu seperti denyut jantung. Sangat teratur. Sangat berirama. Rasa sakitnya berubah menjadi denyut yang terasa nikmat. Aku bayangkan darah itu kini berbaur dengan darahku… Kehidupanku akan berubahkah setelah ini? Akankah gen-gen dalam darah baru ini mengobati luka terdalamku yang sudah sangat lama kurasakan?

“Jawabannya tergantung pada dirimu sendiri…”

Aku tersedak. Suara wanita tadi jelas bukan suara kedua suster yang tadi bersamaku. Namun aku tidak bisa membuka mataku. Pasti aku sedang bermimpi. Pasti suara ini kudengar dalam tidurku. Atau, aku pingsan lagi? Aku terus berusaha keras membuka mataku, namun rasanya begitu berat. Tiba-tiba entah mengapa aku bisa melihat sumber suara tadi dari dalam bayangan otakku sendiri. Suara itu berasal dari wanita cantik yang secara tidak sengaja berpapasan denganku pada saat pemeriksaan kandungan tadi siang.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku yang rasanya penuh dengan kabut. Kabut itu perlahan menghilang, dan kulihat diriku duduk dipinggir pantai dengan pasir putih yang indah. Wanita cantik itu duduk disebelahku. Kami berdua sama-sama memakai jas biru pasien yang panjang, namun tanpa selang-selang infus yang menjuntai.

“Aku selalu suka pantai…”
Wanita itu berkata-kata lagi. Aku ingin bertanya, namun suaraku tidak keluar.

Heran, aku mengangguk setuju. Angin pantai yang sejuk, udara yang menghangatkan, dan pasir putih bersih. Aku tidak pernah melihat pantai seindah ini. Ada dimana ini…

“Maldives. Aku lama tinggal disana.”
Lagi-lagi wanita iu bisa membaca pikiranku dan langsung menjawabnya. Aku sampai terheran-heran. Kucoba lagi untuk berbicara, namun aku hanya bisa bergumam dan terbatuk. Maldives?! Tak pernah terbersit sedikitpun dalam pikiranku akan ke menginjakkan kaki ke Maldives. Dan sekarang aku bisa ada disana?

“Aku sering meratapi nasib cintaku disini. Berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun.” Wanita cantik itu menatap lurus kedepan. Sangat jauh dan kosong.

“Kenapa…?” akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku juga. Walau terdengar sangat aneh.

“Namun aku menyesal…”
Dia seakan tidak mendengar dan menjawab pertanyaanku.

“Separuh hidupku hanya kuhabiskan untuk menangisi pria yang tak layak aku cintai. Dan separuh hidupku lagi aku menangisi diriku akan perasaan bersalah.”

“Aku… aku tidak mengerti…” aku bingung mendengar semua ini. AKu bahkan bingung atas keberadaanku disini, bersama wanita cantik ini dan membahas sesuatu yang tidak kupahami!

“Kamu tahu apa yang bisa membuatmu sembuh?” akhirnya wanita itu mulai fokus membicarakan diriku. Dia memalingkan wajahnya dan menatap diriku. Tatapan sangat lembut dan meneduhkan hati. Rambutnya yang indah terpapar angin, membuatnya semakin ingin terus dipandang. Aku mulai mengenali sosok wanita ini, namun masih samar-samar.

Aku menggeleng.

“Self-healing.”

“Apa?”

“Kamu hanya perlu menerima keadaan dirimu kalau kamu itu sakit…”

“Aku tahu kalau aku sakit kok,” potongku cepat.

“…dan bahwa perasaan bersalahmu itu harus dihilangkan. Dia telah memaafkanmu dan melanjutkan hidupnya.”

“Siapa yang telah memaafkan aku?” perasaan marah mulai merasuki pikiranku. Kalau Kevin yang dia bicarakan, seharusnya aku lah yang berhak memaafkan dirinya! Dan aku tidak akan pernah mau melakukan hal itu, sampai dia kembali ke berlutut dan memohon kembali padaku.

“Dan hentikan kemarahanmu itu! Tidak ada gunanya.” Wanita itu sedikit membentakku dan membuatku terperangah. “Jangan habiskan hidupmu seperti aku. Aku sangat menyesal telah kehilangan separuh hidupku demi seorang pria. Sayangilah dirimu. Kamu hanya menantikan kebahagiaan semu, padahal yang kau inginkan sudah menanti di depanmu. Hanya saja kamu tidak mau beranjak bergerak mendekati kebahagiaan itu…”

Aku terdiam. Mendengar ia berkata seperti itu membuatku bertambah luka.

“Terakhir…,” dia kembali menatapku dengan dalam dan tersenyum ,”maafkanlah semua orang yang telah menyakitimu. Dan lanjutkanlah hidupmu dengan ikhlas.”

Aku hanya menatap deburan ombak yang datang silih berganti. Memaafkan…?
Sepertinya aku mulai mengerti maksud dari wanita ini. Sedikit demi sedikit kuuraikan kalimat-kalimat yang telah dikatakannya padaku. Semuanya kutuangkan dalam kisah hidupku sendiri. Dan aku mulai paham.

Wanita cantik itu beranjak dari duduknya. Dia tersenyum padaku sejenak dan menjauh dari tempatku duduk. Matanya menyorotkan kehidupan yang sangat berat. Dan senyumnya yang manis itu, baru kurasakan senyum itu sangat pedih. Ia telah hidup dalam kesendirian yang sangat menyakitkan. Tunggu… tunggu! Aku mengenalinya sekarang… Dia Lucia Sebastian!! Seorang penyanyi dan artis film yang dikenal sexi di tahun 90 an! Yang kutahu ia menghilang sejak skandal yang dilakukan suami dan adiknya, dan menjadi perceraian paling heboh di dunia entertainment dulu. Bahkan beberapa tahun setelah itu, adik perempuannya itu meninggal akibat over dosis. Aku tidak akan pernah melupakan rambut indah dan senyuman Lucia! Ia wanita yang sempat aku jadikan idola pada saat aku masih sekolah. Lalu, mengapa ia ada di rumah sakit ini sekarang?

Aku mencoba mencari sosok Lucia, namun ia tidak lagi terlihat. Hanya deburan-deburan ombak ini saja yang memenuhi pikiranku sekarang. Deburan-debuaran yang datang silih berganti. Begitu dinamis dan teratur… teratur… seperti denyutan. Denyutan denyutan lembut yang kini kurasakan kembali menjalar ditanganku.

“Selamat pagi, Mbak.”

Aku bisa membuka mataku dengan jelas sekarang. Seorang suster berdiri di hadapanku dan memutar-mutar tombol pengukur di selang transfusi.

“Sudah pagi…?” tanyaku lemah. Tampaknya aku bermimpi. Dan mimpiku sudah usai. Kurasakan badanku terasa aneh. Namun ada kelegaan yang disana. Aku tidak tahu kelegaan itu berasal dari mana. Mungkin karena transfusi, HB darahku sudah naik lagi dan membawa kesegaran baru?

“Sudah jam 7, Mbak. Tuh lihat, wajah Mbak mulai bercahaya sekarang. Tidak pucat seperti kemarin,” suster itu berkata dengan kesenangan yang tidak dibuat-buat. Mungkin memang benar kalau aku sudah terlihat sedikit segar.

Aku menatap kantung darah yang tinggal seperempat lagi habis.

“Sebentar lagi selesai, Mbak. Tenang saja ya. Saya sekarang mau mempersiapkan air mandi mbak dulu. Sarapan juga sudah siap.”

Aku mengangguk.

“Oh ya. Dari PMI kemarin menitipkan surat ke bank darah rumah sakit ini. Katanya dari orang yang telah mendonorkan darahnya buat mbak.”

Suster itu memberikan sepucuk kertas HVS yang sudah dilipat empat. Aku menerimanya dengan rasa penasaran. Tapi rasa penasaran itu terkalahkan dengan satu pertanyaan yang dari tadi mengusik pikiranku.

“Eh, Sus! Mau nanya….” aku sedikit ragu untuk meneruskan. Namun suster itu sudah berbalik badan kearahku. “Apa… Lucia sebastian…, artis dulu itu, ada di rumah sakit ini?”

Suster itu tampak kaget dengan pertanyaanku.

“Iya, kok Mbak tau? Kamarnya ada diujung lantai ini.”

“Aku berpapasan dengan dia kemarin saat di USG.”

“Oh iya. Tadi malam ia sudah tidak sadar lagi. Dia sudah dipindahkan ke ICU. Semoga dia diselamatkan oleh Tuhan. Kasihan dia, sampai hari ini kami tidak berhasil menghubungi saudaranya, dan tidak ada satupun teman-temannya datang.”

Suster itu pun pergi.
Aku pun termenung. Rasanya mimpi tadi bukan seperti mimpi lagi sekarang. Rasanya begitu nyata. Namun herannya, aku tidak bergidik ketakutan. Aku tahu semua ini tidak bisa diterima akal sehat, namun dari lubuk hatiku, aku seperti menerima keanehan tersebut.

Aku teringat kertas putih ditanganku tadi. Kubuka, dan jantungku langsung terhentak kaget karena jelas aku mengenali tulisan tangan ini.

My dearest, Farah. Susan telah mendonorkan darahnya untukmu. Aku sendiri tidak menyangka kalau Susan memiliki Darah B- seperti dirimu. Susan ikhlas ingin menolong. Tolong, maafkan kami, dan izinkan kami berdua untuk bisa melanjutkan hubungan kami. Farah, kali ini aku sangat yakin akan Susan. Aku bersungguh-sungguh. Get well soon. Kevin.

Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Dengan kemarahan meluap-luap ingin rasanya kutarik selang transfusi darah ditanganku, namun tak kulakukan. Kantung darah yang tergantung hampir tak tersisa. Darah Susan sudah ada dalam tubuhku. Dan akan ada disana selamanya.

Aku mulai menangis. Begitu keras dan isakannya teras mengguncang-guncang seluruh tubuhku. Pesan yang kuterima dalam alam bawah sadarku benar adanya. Perlahan kuuraikan semua kejadian dari awal aku masuk rumah sakit ini sampai sekarang.

Bahwa aku harus menerima kenyataan diriku sakit…

Dengan menerima kenyataan kalau aku sakit, maka aku tahu kalau aku juga bisa sembuh dan harus segera menyembuhkan luka dan rasa sakit itu.

Bahwa aku harus membuang segala perasaan bersalahku dan melanjutkan hidup…

Aku selalu menyalahkan diriku telah meninggalkan Daniel. Selama dua tahun terakhir aku hidup memikirkan dirinya yang hancur karena diriku. Dan aku telah salah… Daniel telah menjalani kehidupannya lagi. Tidak ada lagi Daniel-Farah. Daniel lah yang telah memaafkan diriku… Dia lah yang dimaksud telah memaafkan diriku. Pertemuanku yang tidak disengaja dengan Daniel membuktikan bahwa dia tidak lagi membenciku. Dan aku bisa melanjutkan hidupku tanpa rasa bersalah berkepanjangan…

Dan terakhir… Maafkanlah semua orang yang menyakitimu…

Susan… Kevin…

Air mataku terus bergulir. Kini aku pun tidak diizinkan lagi untuk membenci mereka…

Did I say that I loathe you?
Did I say that I want to
Leave it all behind?

I can’t take my mind off of you
I can’t take my mind off you
My mind…my mind…
‘Til I find somebody new



et cetera